BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Puro
Mangkunegaran merupakan salah satu pusat budaya yang masih ada sebagai cagar
budaya dan teguh dalam pelaksanannya, menjaga dan melestarikan warisan budaya
leluhur bangsa. Pelestarian kebudayaan oleh pihak Mangkunegaran yaitu dengan
cara membuka diri supaya masyarakat mengetahui budaya, tata cara dalam
kehidupan sehari-hari, salah satunya adalah upacara adat jumenengan. Upacara
adat jumenengan di Puro Mangkunegaran memiliki perbedaan dengan upacara adat
yang dilaksanakan oleh keraton Surakarta dan Yogyakarta karena perbedaan status
kedudukan Puro Mangkunegaran yang dibawah keraton Surakarta dan Yogyakarta.
Sehingga perbedaan ini mempengaruhi dalam hal tata cara upacara adat dan
perlengkapan terutama jenis dan bentuk busana upacara jumenengan. Latar
belakang penggunaan busana raja dalam upacara adat jumenengan di Puro
Mangkunegaran berpedoman pada tata aturan yang dibuat sejak Mangkunegoro ke IV
menciptakan busana yang belum diberinya nama untuk menghadiri undangan PB IX di
desa Kleyeran di tepi sungai Bengawan Solo pada tahun 1800 Jawa atau sekitar
tahun 1875 Masehi. Kemudian baju tersebut disahkan dan diberi nama oleh PB IX
yaitu langen harjan. Maka dari itu baju Langen Harjan menjadi baju kebesaran
khas Puro Mangkunegaran.
Upacara
adat jumenengan di Puro Mangkunegaran terdiri dari beberapa unsur-unsur
pendukung yang tidak boleh dihilangkan salah satunya karena saling berkaitan
yakni ampil-ampilan (pusaka Puro Mangkunegaran) berupa kacuan tempat pembuangan
sirih, tempat sirih, payung atau songsong jenar, tombak, lar-laran kipas raja
dari bulu merak, dua lopak-lopak untuk tempat uang dan emas, tameng dan gelas
untuk minum raja. Semua benda tersebut akan mengiringi raja saat berjalan
menuju hingga duduk didampar raja sampai dengan acara selesai. Selain ampilan
prosesi jumenengan disertai dengan bunyi-bunyian gamelan dan pertunjukan tarian
sakral Bedhaya Anglir Mendhung. Jenis-jenis pelengkap busana jumenengan berupa
blangkon/desthar, kemeja putih, rompi, dasi kupu-kupu, ulur/kalung, bros, epek,
timang, slepe (ikat pinggang), boro, keris, dan selop atau canela (alas kaki).
B. Rumusan Masalah
1.
Bagaimana asal usul upacara adat
jumenengan ?
2.
Bagaimana latar belakang penggunaan
busana raja dalam upacara adat jumenengan di Puro Mangkunegaran ?
3.
Bagaimana aturan pemakaian busana adat ?
4.
Apa saja perlengkapan dan simbolisme
busana raja dalam upacara adat jumenengan di Puro Mangkunegaran ?
C. Tujuan Penulisan
1.
Untuk mengetahui tentang asal usul
upacara adat jumenengan.
2.
Untuk mengetahui tentang latar belakang
penggunaan busana raja dalam upacara adat jumenengan di Puro Mangkunegaran.
3.
Untuk mengetahui aturan pemakaian busana
adat.
4.
Untuk mengetahui tentang perlengkapan
yang digunakan dan simbolisme busana raja dalam upacara adat jumenengan di Puro
Mangkunegaran.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Asal
Usul Upacara Adat Jumenengan
Sejarah tentang asal
usul jumenengan berawal dari berdirinya kerajaan-kerajaan di Nusantara
khususnya sejak adanya kerajaan Mataran Islam yang dipimpin oleh raja yang
bernama Panembahan Senopati. Budaya pelantikan atau jumenengan itu sampai
sekarang masih dilakukan meski dengan tata cara adat yang lain dari raja-raja
yang berkuasa misalnya dari perlengkapan untuk pelantikan, pusaka-pusaka yang
dikeluarkan dalam acara prosesi pengangkatan, penggunaan busana, dan beberapa
hal yang disesuaikan dengan kehendak raja yang berkuasa diwaktu adanya
pelantikan tersebut. Pelantikan seorang raja trah (garis keturunan) mataram
biasanya diikuti dengan beberapa ritual mistik. Diantara ritual mistik yang
sangat fenomenal adalah tarian Bedhoyo Ketawang yang ditarikan oleh
wanita-wanita pilihan dalam keraton. Tarian Bedhoyo Ketawang ciptaan Sultan
Agung, raja dari kerajaan Mataram bersama Kanjeng Ratu Kencanasari, seorang
penguasa laut selatan yang juga disebut Kanjeng Ratu Kidul. Sebelum tari ini
diciptakan terlebih dahulu Sultan Agung memerintahkan para pakar gamelan untuk
menciptakan sebuah gendhing yang bernama Ketawang. Penciptaan gendhing menjadi
sempurna setelah Sunan Kalijaga ikut menyusunnya. Tarian Bedhoyo Ketawang tidak
hanya dipertunjukkan pada saat penobatan raja yang baru, namun juga pertunjukan
setiap tahun sekali bertepatan dengan hari penobatan raja atau disebut Tingalan
Jumenengan. Tarian Bedhoyo Ketawang tetap dipertunjukkan pada masa pemerintahan
Sri Susuhan Paku Buwono ke XIII, hanya saja sudah terjadi pergeseran nilai
filosofinya. Pertunjukan Bedhoyo Ketawang sekarang telah mengalami perubahan
pada berbagai aspek, walaupun bentuk tatanan pertunjukannya masih mengacu pada
tradisi ritual masa lampau. Namun nilainya telah bergeser menjadi sebuah
warisan budaya yang nilai seninya dianggap patut untuk dilestarikan.
Untuk upacara
jumenengan di Puro Mangkunegaran, tarian Bedhoyo Ketawang tidak ditampilkan
karena status kedudukan dari Mangkunegaran yang dibawah Keraton Surakarta.
Mangkunegaran hanya sebagai wilayah kabupaten, sehingga nama penguasanya adalah
Adipati Anom sehingga tidak berhak untuk mengadakan acara sakral jumenengan
dengan menampilkan tarian Bedhoyo Ketawang. Sebagai gantinya ditampilkan tari
Bedhoyo Anglir Mendhung yang diciptakan berdasarkan kisah perang Pangeran
Samber Nyawa dalam memerangi kompeni. Tarian ini juga baru ditemukan oleh
kerabat Puro Mangkunegaran. Dalam acara pelantikan raja baru pengganti raja
lama yang telah meninggal itu hanya ditarikan tari Bedhoyo Anglir Mendhung yang
diciptakan oleh Pangeran Samber Nyawa, raja pertama Mangkunegaran. Tarian
Anglir Mendung ini merupakan salah satu tarian yang keramat.
Jumenengan
Jumenengan memiliki
pengertian pelantikan seorang raja baru menggantikan raja lama yang telah
meninggal dunia, disertai dengan tata upacara adat.pelantikan seorang raja pada
permulaan Mataram sebelum adanya campur tangan VOC. Disahkan oleh sesepuh yang berpengaruh, baik dari kalangan
dinasti/trah Mataram atau dari kalangan rakyat jelata diluar tembok keraton.
Tetapi kompeni juga ikut terlibat dalam pelantikan raja Mangku Rat II kemudian
putra mahkota Raden Mas Suryaputra (Mangku Rat IV), dan Paku Buwana II.
Jumenangan adalah upacara adat yang khusus dipertunjukkan kepada raja. Selain
upacara jumenengan atau pelantikan ada dua lagi yang berkaitan dengan upacara
untuk raja yaitu Tingalan Jumenengan (hari peringatan dari kenaikan tahta raja yang
diperingati setiap tahunnya dan Wiyosan Jumenengan (hari peringatan kelahiran
dan kematian raja). Tingalan Jumenengan disesuaikan dengan tanggal dan bulan
penobatan raja. Upacara jumenengan biasanya didahului dengan pemberian kenaikan
pangkat dan gelar kepada para putra sentana, para kerabat keraton, dan abdi
dalem. Pemberian pangkat dan gelar baru kepada orang-orang yang dianggap
berjasa terhadap keraton, serta penganugrahan bintang-bintang tanda jasa kepada
abdi dalem atau orang yang sangat berjasa dalam keraton.
B.
Latar
Belakang Penggunaan Busana Raja Dalam Upacara Adat Jumenengan di Puro
Mangkunegaran
Busana jumenengan raja
Puro Mangkunegaran adalah busana Langen Harjan. Busana langen harjan diciptakan
oleh Mangkunegoro IV pada waktu mendapat undangan dari Paku Buwana IX untuk
menghadiri pasanggrahan atau tempat untuk menenangkan hati di desa Kleyeran di
tepi sungai Bengawan Solo pada tahun 1800 Jawa atau sekitar tahun 1875 Masehi.
Mangkunegoro IV merasa kedudukannya di bawah PB IX dan tempat pasowanan berada
diluar dinding keraton, maka beliau berfikir jika menggunakan baju sikepan,
baju yang kancingnya dari atas ke bawah dan dibiarkan terbuka, dan bagian
dalamnya menggunakan baju putih, baju ini dipakai oleh seorang yang berpangkat
KRMH yaitu Kanjeng Raden Mas Haryo dan KRTH yaitu Kanjeng Raden Haryo
Tumenggung ke atas maka dianggap terlalu tinggi. Namun jika mengenakan baju
beskap yaitu baju yang kancingnya berada di depan berbentuk tangkepan dari
kanan ke kiri tersusun miring, baju ini boleh digunakan oleh siapa saja kecuali
warna hitam hanya boleh dikenakan oleh putra dalem, sentana dalem, dan abdi
dalem yang berpangkat KRTH. Setiba di Kleyeran, PB IX terheran-heran dan
tertegun kemudian bertanya busana apa yang dikenakan Mangkunegoro IV, beliau
kemudian menjawab bahwa baju tersebut belum memiliki nama. PB IX lalu
memberikan nama baju yang dikenakan oleh Mangkunegoro IV dengan nama busana
Langen Harjan. Nama tersebut sekaligus menjadi nama pasanggrahan tempat mereka
bertemu, hingga sekarang tempat itu masih ada yaitu di desa Bacem, Grogol
Sukoharjo.
C.
Aturan
Pemakaian Busana Adat
Jenjang kepangkatan dan
hak pemakaian dari busana berdasarkan tingkatan jabatannya :
a. Busana
Adat Putra
Busana putra bagi lingkup keraton dapat dikatakan
sebagai pengagemen kejawen atau juga disebut busana Jawi Jangkep. Berdasarkan
keperluannya, busana Jawi Jangkep dibedakan menjadi dua yaitu pakaian harian
(padintenan) warna bukan hitam dan pakaian bukan harian (sanes padintenan)
yaitu pakaian untuk upacara dan warnanya selalu hitam. Abdi dalem yang belum
berpangkat bupati sepuh tidak diperkenankan memakai sikepan. Adapun yang
menjadi perlengkapan busana Jawi Jangkep, khusus bagi busana laki-laki antara
lain :
1. Destar
(ikat blangkon) dan kuluk.
2. Rasukan
krowok artinya berlubang di belakang sebagai tempat keris yang jenisnya ada 5
macam. Atelah yaitu kancing baju di tengah dari leher ke bawah, beskap yaitu
kancing baju di kanan dan kiri, takwa yaitu seperti beskap yang bagian bawah
lancip memanjang, Langen harjan yaitu seperti beskap tetapi di depan seperti
jas tetapi kancing terbuka, sikepan yaitu seperti atelah tetapi kancing baju
tidak dimasukkan dan di dalam memakai rompi berwarna putih.
3. Sabuk
semacam setagen.
4. Epek,
timang, dan lerep (semacam ikat pinggang).
5. Nyamping
: kain.
6. Wangkingan
atau keris.
7. Lambaran
suku atau selop/canela.
Perlengkapan busana Jawi Jangkep bagi kerabat
keraton ada aturan yang disesuaikan dengan kedudukan dan kepangkatan antara
lain :
a. Dhestar/
kuluk : bagi abdi dalem jajar sampai dengan bupati dhestarnya harus menggunakan
kuncung dan mondholannya cengkok. Akan tetapi bagi tiyang (orang) Nginggil
(berpangkat) sampai dengan Pangeran Putra dhestarnya tidak memakai kuncung dan
mondholannya jebehan. Kuluk untuk keperluan khusus misalnya untuk raja dan
pengantin keraton.
b. Rasukan
Krowok : bagi abdi dalem jajar sampai dengan bupati, Santara Panji dan Riyo
Ngandhap busananya atelah, tidak diperkenankan santana dalem Riyo Nginggil
Pangeran Wayah dan Pangeran.
c. Sabuk
: khusus sabuk yang tergolong cindhe hanya untuk raja.
d. Epek
: untuk para pangeran putra, pangeran sentana dan Riyo Nginggil diperkenankan
memakai sabuk yang bermotif untu walang berbordir, dan abdi dalem selain itu
epeknya polos.
e. Nyamping
: khusus kain yang bermotif lereng hanya boleh dipakai oleh pangeran wayah dan
pangeran putra. Bagi abdi dalem motif lereng tersebut tidak diperkenankan
memakainya.
b. Busana
Adat Putri
Busana putri bagi keraton merupakan busana
tradisional Jawa yang mencerminkan putri keraton. Istilah putri keraton
mengisyaratkan adanya makna keibuan, keanggunan, kelembutan, kesopanan, dan
sejenisnya dan bukan mengisyaratkan makna yang sebaliknya. Sama halnya dengan
busana putra, busana putri juga disesuaikan dengan kedudukan atau kepangkatan
bagi pemakainya. Kelengkapan busana putri keraton adalah ungkel atau sanggul,
kebayak, semekan, setagen, januran dan slepe mirip epek dan timang pada busana
putra, kain panjang (sinjang dan dhodhotan) atau nyamping. Kelengkapan busana
tersebut pemakainya disesuaikan dengan umur, kepangkatan dan keperluannya.
Sehubungan dengan hal itu di keraton dikenal adanya jenis atau model busana
putri seperti sabukwala, sabuk wala kebayak, dhodhot ageng ngumbar kunca,
semekan kancing wingking, picung kencong, bedhaya dhodhot klembrehan, kebaya
cekak, kebaya panjang, dan busana pengantin basahan.
D.
Perlengkapan
dan Simbolisme Busana Raja Dalam Upacara Adat Jumenengan di Puro Mangkunegaran
1. Unsur-Unsur
Pendukung Dalam Upacara Adat Jumenengan
a. Cungkup/cangkir
“Kecuan” tempat pembuangan sirih terbuat dari emas menyimbolkan proses membuat
keputusan/kebijakan negara.
b. Tempat
sirih terbuat dari emas.
c. Payung
emas dengan nama Songsong Jenar menyimbolkan keagungan dan kewibawaan.
d. Tombak.
e. Lar
badak terbuat dari bulu merak untuk kipas raja menyimbolkan kemuliaan,
keagungan, dan keindahan.
f. Lopak-lopak
untuk tempat uang, terbuat dari emas menyimbolkan kemurahan hati dan
kedermawanan.
g. Lopak-lopak
untuk tempat emas, terbuat dari emas.
h. Tameng.
i.
Gelas untuk minum raja
Ampil-ampilan merupakan benda pusaka kebesaran Puro
Mngkunegaran yang hanya dikeluarkan pada saat upacara penting di lingkungan
Puro Mangkunegaran khususnya upacara-upacara yang berkaitan dengan raja seperti
Tingalan Jumenengan, Wiyosan Ndalem, pernikahan, dan upacara pelantikan raja
baru. Pada Pendopo Ageng terdapat empat set gamelan Jawa Kuno, yang satu
digunakan secara rutin dan tiga lainnya digunakan hanya pada upacara khusus dan
mengiringi tarian dengan nama Kanjeng Kyai Kanyut, Kanjeng Kyai Mesem,
Monggang, Kyai Udan Asih, dan Udan Arum. Kyai kanyut Mesem, kyai Mesem dan gong
yang bernama Kyai Anggun-anggun termasuk dalam pusaka yang dikeramatkan Puro
Mangkunegaran dan dibunyikan pada saat acara pelantikan raja baru atau dalam
upacara Tingalan Jumenengan raja. Tarian Bedhoyo Anglir Mendhung ditarikan
pertama kali pada tanggal 19 Rabiul Akhir tahun Jawa 1714 (1787 Masehi) pada
saat Tingalan jumenengan Mangkunegoro I dalam usia 62 tahun. Tarian Bedhoyo
Anglir Mendhung adalah tarian sakral yang diciptakan oleh Mangkunegoro I. Tarian
ini hanya ditarikan pada waktu penting saja seperti pada upacara-upacara adat
yang ditujukan untuk raja. Sesaji/sajen dalam masyarakat Jawa merupakan unsur
yang termasuk penting dan tidak dapat ditinggalkan, tidak boleh tercecer,
dihilangkan salah satu wujudnya dan dianggap memiliki berkah kepada orang yang
memakannya. Setelah selesainya upacara diselenggarakan, ada kepercayaan
pelanggaran terhadap aturan tersebut akan mendatangkan bencana atau musibah
bagi dirinya dan lingkungan sekitar. Sajen secara spiritual diperuntukkan
kepada danyang, arwah nenek luhur dan hal-hal yang lebih bersifat gaib atau
mistik. Sesajen lain yang masih berkaitan dengan upacara jumenengan adalah sego
asahan, sego ghodong, sego uduk, sego punar, sego nogo sari, sego tumpeng, dan
lain-lain yang berjumlah 9 bentuk. Sesaji yang berhubungan langsung dengan
busana raja adalah sesaji Mahesa Lawung untuk pensucian busana raja. Sesaji ini
dibuat khusus untuk upacara jumenengan raja. Sesaji ini diambil dari tempat di
keraton Kasunanan Surakarta bernama Pawon Gondorasan dengan jumlah pada waktu
itu sangat banyak sekali sehingga membawanya diangkut dengan 2 truk, satu
diberangkatkan ke Kerdawahana dan satunya lagi ke Puro Mangkunegaran. Busana
raja yang akan digunakan diletakkan pada sesaji Mahesa Lawung berharap
mendapatkan berkah dan keselamatan dalam pemakaian busana tersebut pada waktu
upacara jumenengan. Arti simbolisme dari sesajian ini adalah agar diberkati
leluhur dan dilindungi dari roh-roh jahat. Sesajian ini diletakkan di tempat-tempat
dimana upacara adat sedang berlangsung dan beberapa tempat yang dianggap
keramat. Dampar (singgasana) atau kursi raja berada di dalam ruangan
paringitan, dampar atau kursi kebesaran raja (singgasana) untuk Puro
Mangkunegaran baru digunakan untuk pelantikan raja pada masa kemerdekaan atau
pada waktu Mangkunegoro IX dilantik karena secara adat Puro Mangkunegaran tidak
diperbolehkan membuat alun-alun, menanam pohon beringin kurung sakembaran,
duduk diatas dampar, tidak diperkenankan membuat balai witana, tidak boleh
menjatuhkan hukuman mati, dan berhari-hari tertentu harus menghadap ke
Kasunanan Surakarta.
2. Jenis-Jenis
Perlengkapan dan Makna Simbolisme Busana Raja Dalam Upacara Adat Jumenengan di
Puro Mangkunegaran
a. Blangkon
Blangkon gaya Surakarta yang memiliki lar-lar dan
pentolan belakang tidak mendol, sedangkan untuk gaya blangkon Yogyakarta
memakai bendolan. Blangkon merupakan penutup bagian kepala orang Jawa kuno
(tradisional) sebelumnya mengenakan iket yaitu ikat kepala yang dibentuk
sedemikian rupa sehingga menjadi penutup kepala. Cara mengenakan iket harus
kuat supaya ikatan tidak mudah terlepas. Iket merupakan simbol bahwa manusia
seharusnya mempunyai pemikiran yang kuat, tidak mudah terombang-ambing hanya
karena situasi atau orang lain tanpa pertimbangan yang matang. Hampir sama
penggunaannya yaitu udheng atau lebih dikenal dengan istilah blangkon dikenakan
di bagian kepala seperti mengenakan topi, blangkon/udheng pelengkap busana
langen harjan bermotif cemukiran. Motif cemukiran pada blangkon dibatasi dengan
garis tepi/pinggiran dengan motif batik modang. Motif cemukiran adalah lidah
api yang mengandung makna kesaktian untuk meredam angkara. Hal ini mengandung
ajaran bahwa sebelum bisa mengalahkan musuh dari luar harus bisa mengalahkan
musuh yang datang dari diri sendiri (nafsu). Motif ini berkembang pada masa PB
III dan hanya boleh dipergunakan Pepatihdalem dan Sentanadalem. Jika sudah
dikenakan di atas kepala, iket dan udheng sulit dibedakan karena wujud dan fungsinya
sama. Udheng dari kata kerja Mudheng atau mengerti dengan jelas. Blangkon
merupakan simbol supaya manusia mempunyai pemikiran yang kukuh, mengerti, dan
memahami tujuan hidup dan kehidupan atau sangkan paraning dumadi. Selain itu
udheng juga mempunyai arti bahwa manusia seharusnya mempunyai keterampilan
sehingga dapat menjalankan pekerjaannya dengan dasar pengetahuan yang mantap
atau mudheng.
b. Kemeja
Langen Harjan Warna Hitam
Pemakaian rompi warna hitam seperti terlihat diatas
dikenakan setelah pemakaian kemeja warna putih sehingga busana akan terlihat
serasi perpaduan warna hitam dan putih. Rompi merupakan pelengkap untuk busana
langen harjan khususnya yang dikenakan oleh raja dalam upacara adat jumenengan
di Puro Mangkunegaran. Busana kejawen seperti langen harjan selalu dilengkapi dengan
kancing baju/benik disebelah kiri dan kanan. Makna yang tersirat dalam benik
itu adalah agar orang Jawa dalam melakukan semua tindakannya selalu
diperhitungkan dengan cermat. Apapun yang akan dilakukan hendaklah jangan
sampai merugikan orang lain, dapat menjaga antara kepentingan pribadi dan
kepentingan umum. Warna busana langen harjan adalah hitam yang melambangkan
sifat-sifat positif yaitu tegas, kukuh, formal, dan kekuatan mistis.
c. Dasi
kupu-kupu
Dasi kupu-kupu termasuk dalam perlengkapan atau aksesoris
busana langen harjan yang tidak boleh ditinggalkan. Warna dasi yang dikenakan
pada upacara jumenengan adalah warna putih sedangkan untuk upacara-upacara adat
yang lain baik di lingkungan Puro Mangkunegaran maupun menerima undangan dari
luar Puro, dasi yang dikenakan disesuaikan dengan warna baju langen harjan atau
disesuaikan dengan minat raja sendiri.
d. Kalung
emas/ulur
Kalung atau dalam pengertian bahasa Jawa yaitu ulur
merupakan pelengkap busana langen harjan setelah dasi. Ulur dikenakan pada
leher menjuntai hingga di perut atau pusar. Kalung emas ini merupakan simbol
bahwa si pemakai adalah kaum bangsawan atau mempertegas derajat kepangkatan
dalam lingkup adat keraton. Adat pemakaian kalung di lingkungan keraton hanya
raja, putra raja, dan diatas gelar kepangkatan KRT (Kanjeng Raden Tumenggung)
yang hanya boleh mengenakan ulur emas tersebut.
e. Bros
Bros dikenakan pada dada sisi kiri atas busana
langen harjan. Bros menandakan delapan arah mata angin. Masyarakat Jawa
memandang alam semesta terdiri dari delapan arah mata angin dengan pusatnya
adalah Tuhan yang mempersatukan dan memberi keseimbangan. Bros ini mewakili
artian tersebut. Sikap dan pandangan terhadap dunia nyata masyarakat Jawa
tercermin pada kehidupan manusia dengan lingkungannya, susunan manusia dalam
masyarakat, tata kehidupan manusia sehari-hari dan segala sesuatu yang terlihat
oleh mata. Dalam menghadapi kehidupan manusia yang baik dan benar di dunia ini
tergantung pada kekuatan batin dan jiwanya maka diharapkan dengan penggunaan
bros pada busana langen harjan memiliki batin yang bersih dan memancarkannya
seolah ke setiap arah mata angin tersebut.
f. Epek
Epek untuk para pangeran putra, pangeran sentana dan
Riyo Nginggil diperkenankan memakai sabuk yang bermotif untu walang berbordir,
dan abdi dalem selain itu epeknya polos. Epek menurut orang Jawa mengandung
arti bahwa untuk dapat bekerja dengan baik, harus epek (mencari) pengetahuan
yang berguna. Selama menempuh ilmu diupayakan selalu untuk tekun, teliti, dan
cermat sehingga dapat memahami dengan jelas. Dalam budaya Jawa, warna kuning
dan merah merupakan simbol kasepuhan (yang dianggap tua). Sifat kasepuhan ini
terlihat dalam bentuk lahir dan batin yang mencerminkan sabar, tidak berburu
nafsu dan sejenisnya. Warna epek memiliki makna bahwa seorang raja harus
memiliki jiwa kasepuhan yang mengayomi seluruh bawahannya dan memberikan rasa
tenteram.
g. Timang
dan Slepe
Timang berfungsi mengancing slepe (ikat pinggang).
Bahan yang digunakan dalam pembuatan timang berasal dari emas, perak, gading
gajah yang diukir, emas dilengkapi permata, dan lain-lain. Timang bermakna
bahwa apabila mendapatkan atau belajar mencari ilmu maka ilmu yang didapat
harus dipahami dengan jelas atau gambling, tidak setengah-setengah, tidak akan
ada rasa khawatir. Slepe atau ikat pinggang yang dikenakan bangsawan adalah
bermotif sedangkan untuk umum biasanya polos atau tidak bermotif. Motif untuk
raja adalah modang dengan warna emas melambangkan keagungan si pemakainya.
Slepe selain sebagai pengencang ikatan pada perut juga mempunyai makna untuk
mengendalikan hawa nafsu karena pusat kehidupan adalah di perut.
h. Boro
Boro adalah kain yang diselipkan di epek dengan
warna kuning dan memiliki rumbai-rumbai. Warna kuning bermakna keagungan si
pemakai sebagai orang yang memiliki derajat kepangkatan tinggi.
i.
Keris
Keris merupakan sejenis senjata tikam khas yang
berasal dari Indonesia. Berdasarkan dokumen-dokumen purbakala, keris dalam
bentuk awal telah digunakan sejak abad ke 9. Masyarakat Jawa memiliki keyakinan
bahwa keris ada roh penunggunya sehingga mampu menjadi parewanagan (pembantu
gaib) yang bisa dimanfaatkan kesaktiannya. Keris memiliki berbagai macam bentuk
misalnya ada yang bilahnya berkelok-kelok (selalu berbilang ganjil) dan ada
pula yang berbilah lurus. Orang Jawa menganggap perbedaan bentuk ini memiliki
efek esoteri yang berbeda. Selain digunakan sebagai senjata, keris juga sering
dianggap memiliki kekuatan supranatural. Di daerah Jawa dan Sunda, keris
ditempatkan di pinggang bagian belakang pada masa damai, tetapi ditempatkan di
depan pada masa perang. Keris juga bisa berfungsi sebagai pertanda atribut
utusan raja atau duta besar raja. Apabila seseorang mendapat tugas dari raja,
misalnya untuk mewakili raja pada suatu acara penting menyangkut tugas
kenegaraan yang mengandung resiko, maka kepada orang tersebut raja meminjamkan
sebuah keris pusaka milik sang raja yang bobot spiritualnya sepadan dengan
bobot tugas yang diembankan. Dalam kehidupan sehari-hari orang Jawa
tradisional, keris juga berfungsi seremonial, menjadi lambang persaudaraan,
persahabatan, perkawinan. Sudah menjadi kelaziman dalam hubungan pergaulan
dengan orang lain, atau keluarga satu dengan keluarga lain, mereka mengikat
tali persahabatan dengan bertukar tanda mata. Salah satu simbol persaudaraan
atau persahabatan, dulu biasa ditandai dengan tukar-menukar keris. Bentuk
persahabatan yang memakai simbol seperti itu dahulu dianggap sebagai bentuk
hubungan erat dengan tingkat etika yang tinggi. Curiga atau keris berwujud
wilahan atau bilahan terdapat dalam warangka atau wadahnya. Keris dikenakan di
bagian belakang badan diselipkan pada epek dengan arah gagang keris condong ke
kanan. Keris mempunyai arti bahwa keris sekaligus warangkanya sebagaimana
manusia adalah makhluk yang diciptakan dan penciptanya yaitu Tuhan Yang Maha
Kuasa, sehingga dalam budaya Jawa dikenal dengan istilah manunggaling kawula Gusti. Karena diletakkan di bagian belakang
tubuh, keris mempunyai arti bahwa dalam menyembah Tuhan Yang Maha Kuasa
hendaklah manusia bisa untuk ngungkurake
godhaning setan yang senantiasa mengganggu manusia ketika manusia akan
bertindak kebaikan.
j.
Jarik Motif Parang Barong
Jarik atau sinjang merupakan kain yang dikenakan
untuk menutup tubuh dari pinggang sampai mata kaki. Jarik bermakna aja gampang serik (jangan mudah iri terhadap
orang lain). Menanggapi setiap masalah harus hati-hati tidak emosional. Jarik
makna yang diperuntukkan kepada kaum wanita untuk laki-laki dinamakan bebed.
Bebed merupakan kain jarik yang dikenakan oleh laki-laki seperti halnya pada
perempuan. Bebed artinya manusia harus rajin bekerja, berhati-hati terhadap
segala hal yang dilakukan dan bekerja sepanjang hari. Wiru jarik atau kain yang
dikenakan selalu dengan cara mewiru (merimpel) pinggiran yang vertikal atau
sisi saja sedemikian rupa. Wiru atau wiron diperoleh dengan cara melipat-lipat.
Ini mengandung pengertian bahwa jarik tidak bisa lepas dari wiru, dimaksudkan
kerjakan segala hal jangan sampai keliru agar bisa menumbuhkan suasana yang
menyenangkan dan harmonis. Jarik atau bebed ada motif-motif tertentu yang
digunakan pada saat dan waktu tertentu. Motif untuk jarik atau bebed pada
upacara adat jumenengan di keraton Surakarta dan Yogyakarta adalah motif parang
barong maka di Puro Mangkunegaran juga menggunakan motif tersebut namun dengan
motif lebih kecil karena status kedudukan Puro Mangkunegaran yang di bawah
keraton Surakarta dan Yogyakarta. Besar kecilnya kain motif parang menjadi
pedoman utama untuk menentukan derajat kebangsawanan seseorang. Motif parang
barong melambangkan kekuasaan, kebesaran, kewibawaan, keluhuran yang tidak
terhingga dan tidak terbatas. Kata parang merupakan perubahan dari kata Pereng
atau pinggiran suatu tebing yang berbentuk lereng seperti dari dataran tinggi
ke dataran rendah yang membentuk garis diagonal. Mengambil dasar gambaran
tebing di pesisir pantai selatan pulau Jawa yang diberi nama Paranggupito,
Parangkusumo, dan Parangtritis dan sebagainya. Warna putih pada motif barong,
warna ini dikaitkan dengan kebenaran, kebersihan. Kesucian yang melambangkan
karakter orang yang baik hati yang selalu mengutamakan kebenaran dan kejujuran
dalam kehidupannya.
k. Alas
kaki atau Selop
Selop polos semacam sandal yang bagian depannya
tertutup biasanya terbuat dari kulit berwarna hitam bagian ujungnya meruncing.
Selop merupakan alas kaki raja, dahulu untuk memasuki keraton khususnya ketika
diadakan pertemuan dengan raja maka semua yang hadir tidak diperkenankan untuk
memakai selop, karena bisa dianggap lancang. Selop hanya khusus dipakai oleh
raja dengan warna hitam, namun dengan seiringnya waktu peraturan tersebut
sekarang dihapuskan. Selop mempunyai pengertian yaitu canthelna jroning nala (peganglah kuat dalam hatimu), canela sama
artinya dengan cripu atau sandal.
Canela selalu dikenakan di kaki, artinya dalam menyembah kepada Tuhan Yang Maha
Kuasa hendaklah dari lahir sampai batin sujud atau manembah di kaki-Nya dalam hati hanyalah pasrah kepada kekuasaan
Tuhan Yang Maha Esa.
BAB
III
PENUTUP
Kesimpulan
Busana raja pada upacara adat jumenengan setiap
bagian dari keseluruhan busana memiliki makna simbolis, setiap makna tersebut
memberi harapan yang baik bagi pemakainya. Harapan itu disimbolkan dengan
benda-benda dan motif kain yang ada pada busana langen harjan tersebut.
Misalnya blangkon dengan motif cemukiran. Motif cemukiran pada blangkon
dibatasi dengan garis tepi/ pinggiran dengan motif batik modang. Motif
cemukiran adalah lidah api yang mengandung makna kesaktian untuk meredam
angkara, hal ini mengandung ajaran bahwa sebelum bisa mengalahkan musuh dari
luar harus bisa mengalahkan musuh yang datang dari diri sendiri. Ulur atau
kalung emas yang hanya dikenakan oleh orang yang bergelar KRT yaitu kemeja
putih, rompi warna hitam, atela kerawok yaitu berlubang bagian belakang untuk
menempatkan keris, dasi, epek, slepe (ikat pinggang) bermakna supaya orang
pemakaiannya menahan hawa nafsu, keris, kain jarik bermotif parang barong yang
bermakna kekuasaan, kebesaran, kewibawaan, keluhuran yang tidak terhingga dan
tidak terbatas. Warna pada motif barong adalah warna hitam dan putih dalam arti
yang baik warna ini melambangkan orang yang mempunyai kepribadian yang kuat,
tidak mudah terpengaruh oleh pendapat atau komentar orang lain sehingga dalam
melaksanakan kewajibannya akan dilaksanakan dengan baik dengan penuh tanggung
jawab. Sedangkan dalam arti yang tidak baik, warna ini melambangkan
keangkaramurkaan, keserakahan, kejahatan, kegelapan, dan kesesatan. Warna putih
dikaitkan dengan kebenaran, kebersihan, kesucian yang melambangkan karakter
orang yang baik hati yang selalu mengutamakan kebenaran dan kejujuran dalam
kehidupannya. Secara keseluruhan penampilan busana raja yang megah dan mewahh
dalam upacara adat jumenengan juga merupakan jaminan legitimasi kekuasaan
kekuasaan dari pemakainya.
DAFTAR
PUSTAKA