Rabu, 25 Juni 2014

PENGGUNAAN BUSANA RAJA DALAM UPACARA ADAT JUMENENGAN DI PURO MANGKUNEGARAN


BAB I

PENDAHULUAN

 

A.      Latar Belakang Masalah

Puro Mangkunegaran merupakan salah satu pusat budaya yang masih ada sebagai cagar budaya dan teguh dalam pelaksanannya, menjaga dan melestarikan warisan budaya leluhur bangsa. Pelestarian kebudayaan oleh pihak Mangkunegaran yaitu dengan cara membuka diri supaya masyarakat mengetahui budaya, tata cara dalam kehidupan sehari-hari, salah satunya adalah upacara adat jumenengan. Upacara adat jumenengan di Puro Mangkunegaran memiliki perbedaan dengan upacara adat yang dilaksanakan oleh keraton Surakarta dan Yogyakarta karena perbedaan status kedudukan Puro Mangkunegaran yang dibawah keraton Surakarta dan Yogyakarta. Sehingga perbedaan ini mempengaruhi dalam hal tata cara upacara adat dan perlengkapan terutama jenis dan bentuk busana upacara jumenengan. Latar belakang penggunaan busana raja dalam upacara adat jumenengan di Puro Mangkunegaran berpedoman pada tata aturan yang dibuat sejak Mangkunegoro ke IV menciptakan busana yang belum diberinya nama untuk menghadiri undangan PB IX di desa Kleyeran di tepi sungai Bengawan Solo pada tahun 1800 Jawa atau sekitar tahun 1875 Masehi. Kemudian baju tersebut disahkan dan diberi nama oleh PB IX yaitu langen harjan. Maka dari itu baju Langen Harjan menjadi baju kebesaran khas Puro Mangkunegaran.

Upacara adat jumenengan di Puro Mangkunegaran terdiri dari beberapa unsur-unsur pendukung yang tidak boleh dihilangkan salah satunya karena saling berkaitan yakni ampil-ampilan (pusaka Puro Mangkunegaran) berupa kacuan tempat pembuangan sirih, tempat sirih, payung atau songsong jenar, tombak, lar-laran kipas raja dari bulu merak, dua lopak-lopak untuk tempat uang dan emas, tameng dan gelas untuk minum raja. Semua benda tersebut akan mengiringi raja saat berjalan menuju hingga duduk didampar raja sampai dengan acara selesai. Selain ampilan prosesi jumenengan disertai dengan bunyi-bunyian gamelan dan pertunjukan tarian sakral Bedhaya Anglir Mendhung. Jenis-jenis pelengkap busana jumenengan berupa blangkon/desthar, kemeja putih, rompi, dasi kupu-kupu, ulur/kalung, bros, epek, timang, slepe (ikat pinggang), boro, keris, dan selop atau canela (alas kaki).

B.       Rumusan Masalah

1.      Bagaimana asal usul upacara adat jumenengan ?

2.      Bagaimana latar belakang penggunaan busana raja dalam upacara adat jumenengan  di Puro Mangkunegaran ?

3.      Bagaimana aturan pemakaian busana adat ?

4.      Apa saja perlengkapan dan simbolisme busana raja dalam upacara adat jumenengan di Puro Mangkunegaran ?

C.      Tujuan Penulisan

1.      Untuk mengetahui tentang asal usul upacara adat jumenengan.

2.      Untuk mengetahui tentang latar belakang penggunaan busana raja dalam upacara adat jumenengan di Puro Mangkunegaran.

3.      Untuk mengetahui aturan pemakaian busana adat.

4.      Untuk mengetahui tentang perlengkapan yang digunakan dan simbolisme busana raja dalam upacara adat jumenengan di Puro Mangkunegaran.


 

BAB II

PEMBAHASAN

 

A.    Asal Usul Upacara Adat Jumenengan

Sejarah tentang asal usul jumenengan berawal dari berdirinya kerajaan-kerajaan di Nusantara khususnya sejak adanya kerajaan Mataran Islam yang dipimpin oleh raja yang bernama Panembahan Senopati. Budaya pelantikan atau jumenengan itu sampai sekarang masih dilakukan meski dengan tata cara adat yang lain dari raja-raja yang berkuasa misalnya dari perlengkapan untuk pelantikan, pusaka-pusaka yang dikeluarkan dalam acara prosesi pengangkatan, penggunaan busana, dan beberapa hal yang disesuaikan dengan kehendak raja yang berkuasa diwaktu adanya pelantikan tersebut. Pelantikan seorang raja trah (garis keturunan) mataram biasanya diikuti dengan beberapa ritual mistik. Diantara ritual mistik yang sangat fenomenal adalah tarian Bedhoyo Ketawang yang ditarikan oleh wanita-wanita pilihan dalam keraton. Tarian Bedhoyo Ketawang ciptaan Sultan Agung, raja dari kerajaan Mataram bersama Kanjeng Ratu Kencanasari, seorang penguasa laut selatan yang juga disebut Kanjeng Ratu Kidul. Sebelum tari ini diciptakan terlebih dahulu Sultan Agung memerintahkan para pakar gamelan untuk menciptakan sebuah gendhing yang bernama Ketawang. Penciptaan gendhing menjadi sempurna setelah Sunan Kalijaga ikut menyusunnya. Tarian Bedhoyo Ketawang tidak hanya dipertunjukkan pada saat penobatan raja yang baru, namun juga pertunjukan setiap tahun sekali bertepatan dengan hari penobatan raja atau disebut Tingalan Jumenengan. Tarian Bedhoyo Ketawang tetap dipertunjukkan pada masa pemerintahan Sri Susuhan Paku Buwono ke XIII, hanya saja sudah terjadi pergeseran nilai filosofinya. Pertunjukan Bedhoyo Ketawang sekarang telah mengalami perubahan pada berbagai aspek, walaupun bentuk tatanan pertunjukannya masih mengacu pada tradisi ritual masa lampau. Namun nilainya telah bergeser menjadi sebuah warisan budaya yang nilai seninya dianggap patut untuk dilestarikan.

Untuk upacara jumenengan di Puro Mangkunegaran, tarian Bedhoyo Ketawang tidak ditampilkan karena status kedudukan dari Mangkunegaran yang dibawah Keraton Surakarta. Mangkunegaran hanya sebagai wilayah kabupaten, sehingga nama penguasanya adalah Adipati Anom sehingga tidak berhak untuk mengadakan acara sakral jumenengan dengan menampilkan tarian Bedhoyo Ketawang. Sebagai gantinya ditampilkan tari Bedhoyo Anglir Mendhung yang diciptakan berdasarkan kisah perang Pangeran Samber Nyawa dalam memerangi kompeni. Tarian ini juga baru ditemukan oleh kerabat Puro Mangkunegaran. Dalam acara pelantikan raja baru pengganti raja lama yang telah meninggal itu hanya ditarikan tari Bedhoyo Anglir Mendhung yang diciptakan oleh Pangeran Samber Nyawa, raja pertama Mangkunegaran. Tarian Anglir Mendung ini merupakan salah satu tarian yang keramat.

Jumenengan

Jumenengan memiliki pengertian pelantikan seorang raja baru menggantikan raja lama yang telah meninggal dunia, disertai dengan tata upacara adat.pelantikan seorang raja pada permulaan Mataram sebelum adanya campur tangan VOC. Disahkan oleh  sesepuh yang berpengaruh, baik dari kalangan dinasti/trah Mataram atau dari kalangan rakyat jelata diluar tembok keraton. Tetapi kompeni juga ikut terlibat dalam pelantikan raja Mangku Rat II kemudian putra mahkota Raden Mas Suryaputra (Mangku Rat IV), dan Paku Buwana II. Jumenangan adalah upacara adat yang khusus dipertunjukkan kepada raja. Selain upacara jumenengan atau pelantikan ada dua lagi yang berkaitan dengan upacara untuk raja yaitu Tingalan Jumenengan (hari peringatan dari kenaikan tahta raja yang diperingati setiap tahunnya dan Wiyosan Jumenengan (hari peringatan kelahiran dan kematian raja). Tingalan Jumenengan disesuaikan dengan tanggal dan bulan penobatan raja. Upacara jumenengan biasanya didahului dengan pemberian kenaikan pangkat dan gelar kepada para putra sentana, para kerabat keraton, dan abdi dalem. Pemberian pangkat dan gelar baru kepada orang-orang yang dianggap berjasa terhadap keraton, serta penganugrahan bintang-bintang tanda jasa kepada abdi dalem atau orang yang sangat berjasa dalam keraton.

B.     Latar Belakang Penggunaan Busana Raja Dalam Upacara Adat Jumenengan di Puro Mangkunegaran

Busana jumenengan raja Puro Mangkunegaran adalah busana Langen Harjan. Busana langen harjan diciptakan oleh Mangkunegoro IV pada waktu mendapat undangan dari Paku Buwana IX untuk menghadiri pasanggrahan atau tempat untuk menenangkan hati di desa Kleyeran di tepi sungai Bengawan Solo pada tahun 1800 Jawa atau sekitar tahun 1875 Masehi. Mangkunegoro IV merasa kedudukannya di bawah PB IX dan tempat pasowanan berada diluar dinding keraton, maka beliau berfikir jika menggunakan baju sikepan, baju yang kancingnya dari atas ke bawah dan dibiarkan terbuka, dan bagian dalamnya menggunakan baju putih, baju ini dipakai oleh seorang yang berpangkat KRMH yaitu Kanjeng Raden Mas Haryo dan KRTH yaitu Kanjeng Raden Haryo Tumenggung ke atas maka dianggap terlalu tinggi. Namun jika mengenakan baju beskap yaitu baju yang kancingnya berada di depan berbentuk tangkepan dari kanan ke kiri tersusun miring, baju ini boleh digunakan oleh siapa saja kecuali warna hitam hanya boleh dikenakan oleh putra dalem, sentana dalem, dan abdi dalem yang berpangkat KRTH. Setiba di Kleyeran, PB IX terheran-heran dan tertegun kemudian bertanya busana apa yang dikenakan Mangkunegoro IV, beliau kemudian menjawab bahwa baju tersebut belum memiliki nama. PB IX lalu memberikan nama baju yang dikenakan oleh Mangkunegoro IV dengan nama busana Langen Harjan. Nama tersebut sekaligus menjadi nama pasanggrahan tempat mereka bertemu, hingga sekarang tempat itu masih ada yaitu di desa Bacem, Grogol Sukoharjo.

C.    Aturan Pemakaian Busana Adat

Jenjang kepangkatan dan hak pemakaian dari busana berdasarkan tingkatan jabatannya :

a.       Busana Adat Putra

Busana putra bagi lingkup keraton dapat dikatakan sebagai pengagemen kejawen atau juga disebut busana Jawi Jangkep. Berdasarkan keperluannya, busana Jawi Jangkep dibedakan menjadi dua yaitu pakaian harian (padintenan) warna bukan hitam dan pakaian bukan harian (sanes padintenan) yaitu pakaian untuk upacara dan warnanya selalu hitam. Abdi dalem yang belum berpangkat bupati sepuh tidak diperkenankan memakai sikepan. Adapun yang menjadi perlengkapan busana Jawi Jangkep, khusus bagi busana laki-laki antara lain :

1.      Destar (ikat blangkon) dan kuluk.

2.      Rasukan krowok artinya berlubang di belakang sebagai tempat keris yang jenisnya ada 5 macam. Atelah yaitu kancing baju di tengah dari leher ke bawah, beskap yaitu kancing baju di kanan dan kiri, takwa yaitu seperti beskap yang bagian bawah lancip memanjang, Langen harjan yaitu seperti beskap tetapi di depan seperti jas tetapi kancing terbuka, sikepan yaitu seperti atelah tetapi kancing baju tidak dimasukkan dan di dalam memakai rompi berwarna putih.

3.      Sabuk semacam setagen.

4.      Epek, timang, dan lerep (semacam ikat pinggang).

5.      Nyamping : kain.

6.      Wangkingan atau keris.

7.      Lambaran suku atau selop/canela.

Perlengkapan busana Jawi Jangkep bagi kerabat keraton ada aturan yang disesuaikan dengan kedudukan dan kepangkatan antara lain :

a.       Dhestar/ kuluk : bagi abdi dalem jajar sampai dengan bupati dhestarnya harus menggunakan kuncung dan mondholannya cengkok. Akan tetapi bagi tiyang (orang) Nginggil (berpangkat) sampai dengan Pangeran Putra dhestarnya tidak memakai kuncung dan mondholannya jebehan. Kuluk untuk keperluan khusus misalnya untuk raja dan pengantin keraton.

b.      Rasukan Krowok : bagi abdi dalem jajar sampai dengan bupati, Santara Panji dan Riyo Ngandhap busananya atelah, tidak diperkenankan santana dalem Riyo Nginggil Pangeran Wayah dan Pangeran.

c.       Sabuk : khusus sabuk yang tergolong cindhe hanya untuk raja.

d.      Epek : untuk para pangeran putra, pangeran sentana dan Riyo Nginggil diperkenankan memakai sabuk yang bermotif untu walang berbordir, dan abdi dalem selain itu epeknya polos.

e.       Nyamping : khusus kain yang bermotif lereng hanya boleh dipakai oleh pangeran wayah dan pangeran putra. Bagi abdi dalem motif lereng tersebut tidak diperkenankan memakainya.

b.      Busana Adat Putri

Busana putri bagi keraton merupakan busana tradisional Jawa yang mencerminkan putri keraton. Istilah putri keraton mengisyaratkan adanya makna keibuan, keanggunan, kelembutan, kesopanan, dan sejenisnya dan bukan mengisyaratkan makna yang sebaliknya. Sama halnya dengan busana putra, busana putri juga disesuaikan dengan kedudukan atau kepangkatan bagi pemakainya. Kelengkapan busana putri keraton adalah ungkel atau sanggul, kebayak, semekan, setagen, januran dan slepe mirip epek dan timang pada busana putra, kain panjang (sinjang dan dhodhotan) atau nyamping. Kelengkapan busana tersebut pemakainya disesuaikan dengan umur, kepangkatan dan keperluannya. Sehubungan dengan hal itu di keraton dikenal adanya jenis atau model busana putri seperti sabukwala, sabuk wala kebayak, dhodhot ageng ngumbar kunca, semekan kancing wingking, picung kencong, bedhaya dhodhot klembrehan, kebaya cekak, kebaya panjang, dan busana pengantin basahan.

D.    Perlengkapan dan Simbolisme Busana Raja Dalam Upacara Adat Jumenengan di Puro Mangkunegaran

1.      Unsur-Unsur Pendukung Dalam Upacara Adat Jumenengan

a.       Cungkup/cangkir “Kecuan” tempat pembuangan sirih terbuat dari emas menyimbolkan proses membuat keputusan/kebijakan negara.

b.      Tempat sirih terbuat dari emas.

c.       Payung emas dengan nama Songsong Jenar menyimbolkan keagungan dan kewibawaan.

d.      Tombak.

e.       Lar badak terbuat dari bulu merak untuk kipas raja menyimbolkan kemuliaan, keagungan, dan keindahan.

f.       Lopak-lopak untuk tempat uang, terbuat dari emas menyimbolkan kemurahan hati dan kedermawanan.

g.      Lopak-lopak untuk tempat emas, terbuat dari emas.

h.      Tameng.

i.        Gelas untuk minum raja

Ampil-ampilan merupakan benda pusaka kebesaran Puro Mngkunegaran yang hanya dikeluarkan pada saat upacara penting di lingkungan Puro Mangkunegaran khususnya upacara-upacara yang berkaitan dengan raja seperti Tingalan Jumenengan, Wiyosan Ndalem, pernikahan, dan upacara pelantikan raja baru. Pada Pendopo Ageng terdapat empat set gamelan Jawa Kuno, yang satu digunakan secara rutin dan tiga lainnya digunakan hanya pada upacara khusus dan mengiringi tarian dengan nama Kanjeng Kyai Kanyut, Kanjeng Kyai Mesem, Monggang, Kyai Udan Asih, dan Udan Arum. Kyai kanyut Mesem, kyai Mesem dan gong yang bernama Kyai Anggun-anggun termasuk dalam pusaka yang dikeramatkan Puro Mangkunegaran dan dibunyikan pada saat acara pelantikan raja baru atau dalam upacara Tingalan Jumenengan raja. Tarian Bedhoyo Anglir Mendhung ditarikan pertama kali pada tanggal 19 Rabiul Akhir tahun Jawa 1714 (1787 Masehi) pada saat Tingalan jumenengan Mangkunegoro I dalam usia 62 tahun. Tarian Bedhoyo Anglir Mendhung adalah tarian sakral yang diciptakan oleh Mangkunegoro I. Tarian ini hanya ditarikan pada waktu penting saja seperti pada upacara-upacara adat yang ditujukan untuk raja. Sesaji/sajen dalam masyarakat Jawa merupakan unsur yang termasuk penting dan tidak dapat ditinggalkan, tidak boleh tercecer, dihilangkan salah satu wujudnya dan dianggap memiliki berkah kepada orang yang memakannya. Setelah selesainya upacara diselenggarakan, ada kepercayaan pelanggaran terhadap aturan tersebut akan mendatangkan bencana atau musibah bagi dirinya dan lingkungan sekitar. Sajen secara spiritual diperuntukkan kepada danyang, arwah nenek luhur dan hal-hal yang lebih bersifat gaib atau mistik. Sesajen lain yang masih berkaitan dengan upacara jumenengan adalah sego asahan, sego ghodong, sego uduk, sego punar, sego nogo sari, sego tumpeng, dan lain-lain yang berjumlah 9 bentuk. Sesaji yang berhubungan langsung dengan busana raja adalah sesaji Mahesa Lawung untuk pensucian busana raja. Sesaji ini dibuat khusus untuk upacara jumenengan raja. Sesaji ini diambil dari tempat di keraton Kasunanan Surakarta bernama Pawon Gondorasan dengan jumlah pada waktu itu sangat banyak sekali sehingga membawanya diangkut dengan 2 truk, satu diberangkatkan ke Kerdawahana dan satunya lagi ke Puro Mangkunegaran. Busana raja yang akan digunakan diletakkan pada sesaji Mahesa Lawung berharap mendapatkan berkah dan keselamatan dalam pemakaian busana tersebut pada waktu upacara jumenengan. Arti simbolisme dari sesajian ini adalah agar diberkati leluhur dan dilindungi dari roh-roh jahat. Sesajian ini diletakkan di tempat-tempat dimana upacara adat sedang berlangsung dan beberapa tempat yang dianggap keramat. Dampar (singgasana) atau kursi raja berada di dalam ruangan paringitan, dampar atau kursi kebesaran raja (singgasana) untuk Puro Mangkunegaran baru digunakan untuk pelantikan raja pada masa kemerdekaan atau pada waktu Mangkunegoro IX dilantik karena secara adat Puro Mangkunegaran tidak diperbolehkan membuat alun-alun, menanam pohon beringin kurung sakembaran, duduk diatas dampar, tidak diperkenankan membuat balai witana, tidak boleh menjatuhkan hukuman mati, dan berhari-hari tertentu harus menghadap ke Kasunanan Surakarta.

2.      Jenis-Jenis Perlengkapan dan Makna Simbolisme Busana Raja Dalam Upacara Adat Jumenengan di Puro Mangkunegaran

a.       Blangkon

Blangkon gaya Surakarta yang memiliki lar-lar dan pentolan belakang tidak mendol, sedangkan untuk gaya blangkon Yogyakarta memakai bendolan. Blangkon merupakan penutup bagian kepala orang Jawa kuno (tradisional) sebelumnya mengenakan iket yaitu ikat kepala yang dibentuk sedemikian rupa sehingga menjadi penutup kepala. Cara mengenakan iket harus kuat supaya ikatan tidak mudah terlepas. Iket merupakan simbol bahwa manusia seharusnya mempunyai pemikiran yang kuat, tidak mudah terombang-ambing hanya karena situasi atau orang lain tanpa pertimbangan yang matang. Hampir sama penggunaannya yaitu udheng atau lebih dikenal dengan istilah blangkon dikenakan di bagian kepala seperti mengenakan topi, blangkon/udheng pelengkap busana langen harjan bermotif cemukiran. Motif cemukiran pada blangkon dibatasi dengan garis tepi/pinggiran dengan motif batik modang. Motif cemukiran adalah lidah api yang mengandung makna kesaktian untuk meredam angkara. Hal ini mengandung ajaran bahwa sebelum bisa mengalahkan musuh dari luar harus bisa mengalahkan musuh yang datang dari diri sendiri (nafsu). Motif ini berkembang pada masa PB III dan hanya boleh dipergunakan Pepatihdalem dan Sentanadalem. Jika sudah dikenakan di atas kepala, iket dan udheng sulit dibedakan karena wujud dan fungsinya sama. Udheng dari kata kerja Mudheng atau mengerti dengan jelas. Blangkon merupakan simbol supaya manusia mempunyai pemikiran yang kukuh, mengerti, dan memahami tujuan hidup dan kehidupan atau sangkan paraning dumadi. Selain itu udheng juga mempunyai arti bahwa manusia seharusnya mempunyai keterampilan sehingga dapat menjalankan pekerjaannya dengan dasar pengetahuan yang mantap atau mudheng.

b.      Kemeja Langen Harjan Warna Hitam

Pemakaian rompi warna hitam seperti terlihat diatas dikenakan setelah pemakaian kemeja warna putih sehingga busana akan terlihat serasi perpaduan warna hitam dan putih. Rompi merupakan pelengkap untuk busana langen harjan khususnya yang dikenakan oleh raja dalam upacara adat jumenengan di Puro Mangkunegaran. Busana kejawen seperti langen harjan selalu dilengkapi dengan kancing baju/benik disebelah kiri dan kanan. Makna yang tersirat dalam benik itu adalah agar orang Jawa dalam melakukan semua tindakannya selalu diperhitungkan dengan cermat. Apapun yang akan dilakukan hendaklah jangan sampai merugikan orang lain, dapat menjaga antara kepentingan pribadi dan kepentingan umum. Warna busana langen harjan adalah hitam yang melambangkan sifat-sifat positif yaitu tegas, kukuh, formal, dan kekuatan mistis.

c.       Dasi kupu-kupu

Dasi kupu-kupu termasuk dalam perlengkapan atau aksesoris busana langen harjan yang tidak boleh ditinggalkan. Warna dasi yang dikenakan pada upacara jumenengan adalah warna putih sedangkan untuk upacara-upacara adat yang lain baik di lingkungan Puro Mangkunegaran maupun menerima undangan dari luar Puro, dasi yang dikenakan disesuaikan dengan warna baju langen harjan atau disesuaikan dengan minat raja sendiri.

d.      Kalung emas/ulur

Kalung atau dalam pengertian bahasa Jawa yaitu ulur merupakan pelengkap busana langen harjan setelah dasi. Ulur dikenakan pada leher menjuntai hingga di perut atau pusar. Kalung emas ini merupakan simbol bahwa si pemakai adalah kaum bangsawan atau mempertegas derajat kepangkatan dalam lingkup adat keraton. Adat pemakaian kalung di lingkungan keraton hanya raja, putra raja, dan diatas gelar kepangkatan KRT (Kanjeng Raden Tumenggung) yang hanya boleh mengenakan ulur emas tersebut.

e.       Bros

Bros dikenakan pada dada sisi kiri atas busana langen harjan. Bros menandakan delapan arah mata angin. Masyarakat Jawa memandang alam semesta terdiri dari delapan arah mata angin dengan pusatnya adalah Tuhan yang mempersatukan dan memberi keseimbangan. Bros ini mewakili artian tersebut. Sikap dan pandangan terhadap dunia nyata masyarakat Jawa tercermin pada kehidupan manusia dengan lingkungannya, susunan manusia dalam masyarakat, tata kehidupan manusia sehari-hari dan segala sesuatu yang terlihat oleh mata. Dalam menghadapi kehidupan manusia yang baik dan benar di dunia ini tergantung pada kekuatan batin dan jiwanya maka diharapkan dengan penggunaan bros pada busana langen harjan memiliki batin yang bersih dan memancarkannya seolah ke setiap arah mata angin tersebut.

f.       Epek

Epek untuk para pangeran putra, pangeran sentana dan Riyo Nginggil diperkenankan memakai sabuk yang bermotif untu walang berbordir, dan abdi dalem selain itu epeknya polos. Epek menurut orang Jawa mengandung arti bahwa untuk dapat bekerja dengan baik, harus epek (mencari) pengetahuan yang berguna. Selama menempuh ilmu diupayakan selalu untuk tekun, teliti, dan cermat sehingga dapat memahami dengan jelas. Dalam budaya Jawa, warna kuning dan merah merupakan simbol kasepuhan (yang dianggap tua). Sifat kasepuhan ini terlihat dalam bentuk lahir dan batin yang mencerminkan sabar, tidak berburu nafsu dan sejenisnya. Warna epek memiliki makna bahwa seorang raja harus memiliki jiwa kasepuhan yang mengayomi seluruh bawahannya dan memberikan rasa tenteram.

g.      Timang dan Slepe

Timang berfungsi mengancing slepe (ikat pinggang). Bahan yang digunakan dalam pembuatan timang berasal dari emas, perak, gading gajah yang diukir, emas dilengkapi permata, dan lain-lain. Timang bermakna bahwa apabila mendapatkan atau belajar mencari ilmu maka ilmu yang didapat harus dipahami dengan jelas atau gambling, tidak setengah-setengah, tidak akan ada rasa khawatir. Slepe atau ikat pinggang yang dikenakan bangsawan adalah bermotif sedangkan untuk umum biasanya polos atau tidak bermotif. Motif untuk raja adalah modang dengan warna emas melambangkan keagungan si pemakainya. Slepe selain sebagai pengencang ikatan pada perut juga mempunyai makna untuk mengendalikan hawa nafsu karena pusat kehidupan adalah di perut.

h.      Boro

Boro adalah kain yang diselipkan di epek dengan warna kuning dan memiliki rumbai-rumbai. Warna kuning bermakna keagungan si pemakai sebagai orang yang memiliki derajat kepangkatan tinggi.

i.        Keris

Keris merupakan sejenis senjata tikam khas yang berasal dari Indonesia. Berdasarkan dokumen-dokumen purbakala, keris dalam bentuk awal telah digunakan sejak abad ke 9. Masyarakat Jawa memiliki keyakinan bahwa keris ada roh penunggunya sehingga mampu menjadi parewanagan (pembantu gaib) yang bisa dimanfaatkan kesaktiannya. Keris memiliki berbagai macam bentuk misalnya ada yang bilahnya berkelok-kelok (selalu berbilang ganjil) dan ada pula yang berbilah lurus. Orang Jawa menganggap perbedaan bentuk ini memiliki efek esoteri yang berbeda. Selain digunakan sebagai senjata, keris juga sering dianggap memiliki kekuatan supranatural. Di daerah Jawa dan Sunda, keris ditempatkan di pinggang bagian belakang pada masa damai, tetapi ditempatkan di depan pada masa perang. Keris juga bisa berfungsi sebagai pertanda atribut utusan raja atau duta besar raja. Apabila seseorang mendapat tugas dari raja, misalnya untuk mewakili raja pada suatu acara penting menyangkut tugas kenegaraan yang mengandung resiko, maka kepada orang tersebut raja meminjamkan sebuah keris pusaka milik sang raja yang bobot spiritualnya sepadan dengan bobot tugas yang diembankan. Dalam kehidupan sehari-hari orang Jawa tradisional, keris juga berfungsi seremonial, menjadi lambang persaudaraan, persahabatan, perkawinan. Sudah menjadi kelaziman dalam hubungan pergaulan dengan orang lain, atau keluarga satu dengan keluarga lain, mereka mengikat tali persahabatan dengan bertukar tanda mata. Salah satu simbol persaudaraan atau persahabatan, dulu biasa ditandai dengan tukar-menukar keris. Bentuk persahabatan yang memakai simbol seperti itu dahulu dianggap sebagai bentuk hubungan erat dengan tingkat etika yang tinggi. Curiga atau keris berwujud wilahan atau bilahan terdapat dalam warangka atau wadahnya. Keris dikenakan di bagian belakang badan diselipkan pada epek dengan arah gagang keris condong ke kanan. Keris mempunyai arti bahwa keris sekaligus warangkanya sebagaimana manusia adalah makhluk yang diciptakan dan penciptanya yaitu Tuhan Yang Maha Kuasa, sehingga dalam budaya Jawa dikenal dengan istilah manunggaling kawula Gusti. Karena diletakkan di bagian belakang tubuh, keris mempunyai arti bahwa dalam menyembah Tuhan Yang Maha Kuasa hendaklah manusia bisa untuk ngungkurake godhaning setan yang senantiasa mengganggu manusia ketika manusia akan bertindak kebaikan.

j.        Jarik Motif Parang Barong

Jarik atau sinjang merupakan kain yang dikenakan untuk menutup tubuh dari pinggang sampai mata kaki. Jarik bermakna aja gampang serik (jangan mudah iri terhadap orang lain). Menanggapi setiap masalah harus hati-hati tidak emosional. Jarik makna yang diperuntukkan kepada kaum wanita untuk laki-laki dinamakan bebed. Bebed merupakan kain jarik yang dikenakan oleh laki-laki seperti halnya pada perempuan. Bebed artinya manusia harus rajin bekerja, berhati-hati terhadap segala hal yang dilakukan dan bekerja sepanjang hari. Wiru jarik atau kain yang dikenakan selalu dengan cara mewiru (merimpel) pinggiran yang vertikal atau sisi saja sedemikian rupa. Wiru atau wiron diperoleh dengan cara melipat-lipat. Ini mengandung pengertian bahwa jarik tidak bisa lepas dari wiru, dimaksudkan kerjakan segala hal jangan sampai keliru agar bisa menumbuhkan suasana yang menyenangkan dan harmonis. Jarik atau bebed ada motif-motif tertentu yang digunakan pada saat dan waktu tertentu. Motif untuk jarik atau bebed pada upacara adat jumenengan di keraton Surakarta dan Yogyakarta adalah motif parang barong maka di Puro Mangkunegaran juga menggunakan motif tersebut namun dengan motif lebih kecil karena status kedudukan Puro Mangkunegaran yang di bawah keraton Surakarta dan Yogyakarta. Besar kecilnya kain motif parang menjadi pedoman utama untuk menentukan derajat kebangsawanan seseorang. Motif parang barong melambangkan kekuasaan, kebesaran, kewibawaan, keluhuran yang tidak terhingga dan tidak terbatas. Kata parang merupakan perubahan dari kata Pereng atau pinggiran suatu tebing yang berbentuk lereng seperti dari dataran tinggi ke dataran rendah yang membentuk garis diagonal. Mengambil dasar gambaran tebing di pesisir pantai selatan pulau Jawa yang diberi nama Paranggupito, Parangkusumo, dan Parangtritis dan sebagainya. Warna putih pada motif barong, warna ini dikaitkan dengan kebenaran, kebersihan. Kesucian yang melambangkan karakter orang yang baik hati yang selalu mengutamakan kebenaran dan kejujuran dalam kehidupannya.

k.      Alas kaki atau Selop

Selop polos semacam sandal yang bagian depannya tertutup biasanya terbuat dari kulit berwarna hitam bagian ujungnya meruncing. Selop merupakan alas kaki raja, dahulu untuk memasuki keraton khususnya ketika diadakan pertemuan dengan raja maka semua yang hadir tidak diperkenankan untuk memakai selop, karena bisa dianggap lancang. Selop hanya khusus dipakai oleh raja dengan warna hitam, namun dengan seiringnya waktu peraturan tersebut sekarang dihapuskan. Selop mempunyai pengertian yaitu canthelna jroning nala (peganglah kuat dalam hatimu), canela sama artinya dengan cripu atau sandal. Canela selalu dikenakan di kaki, artinya dalam menyembah kepada Tuhan Yang Maha Kuasa hendaklah dari lahir sampai batin sujud atau manembah di kaki-Nya dalam hati hanyalah pasrah kepada kekuasaan Tuhan Yang Maha Esa.

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB III

PENUTUP

 

Kesimpulan

Busana raja pada upacara adat jumenengan setiap bagian dari keseluruhan busana memiliki makna simbolis, setiap makna tersebut memberi harapan yang baik bagi pemakainya. Harapan itu disimbolkan dengan benda-benda dan motif kain yang ada pada busana langen harjan tersebut. Misalnya blangkon dengan motif cemukiran. Motif cemukiran pada blangkon dibatasi dengan garis tepi/ pinggiran dengan motif batik modang. Motif cemukiran adalah lidah api yang mengandung makna kesaktian untuk meredam angkara, hal ini mengandung ajaran bahwa sebelum bisa mengalahkan musuh dari luar harus bisa mengalahkan musuh yang datang dari diri sendiri. Ulur atau kalung emas yang hanya dikenakan oleh orang yang bergelar KRT yaitu kemeja putih, rompi warna hitam, atela kerawok yaitu berlubang bagian belakang untuk menempatkan keris, dasi, epek, slepe (ikat pinggang) bermakna supaya orang pemakaiannya menahan hawa nafsu, keris, kain jarik bermotif parang barong yang bermakna kekuasaan, kebesaran, kewibawaan, keluhuran yang tidak terhingga dan tidak terbatas. Warna pada motif barong adalah warna hitam dan putih dalam arti yang baik warna ini melambangkan orang yang mempunyai kepribadian yang kuat, tidak mudah terpengaruh oleh pendapat atau komentar orang lain sehingga dalam melaksanakan kewajibannya akan dilaksanakan dengan baik dengan penuh tanggung jawab. Sedangkan dalam arti yang tidak baik, warna ini melambangkan keangkaramurkaan, keserakahan, kejahatan, kegelapan, dan kesesatan. Warna putih dikaitkan dengan kebenaran, kebersihan, kesucian yang melambangkan karakter orang yang baik hati yang selalu mengutamakan kebenaran dan kejujuran dalam kehidupannya. Secara keseluruhan penampilan busana raja yang megah dan mewahh dalam upacara adat jumenengan juga merupakan jaminan legitimasi kekuasaan kekuasaan dari pemakainya.

 

 

 

 

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

 




Tidak ada komentar:

Posting Komentar