BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Sulawesi Tenggara sebagai istilah geografis telah
dikenal sejak abad XIX. Istilah geografis Sulawesi Tenggara ini tidak meliputi
pulau-pulau sekitarnya utamanya pulau-pulau besar di sebelah selatan yaitu
Buton, Muna dan Kabaena. Sulawesi Tenggara menjadi istilah politik
(pemerintahan) sejak tahun 1951 ketika Afdeeling Buton dan Laiwui dirubah
menjadi Daerah Sulawesi Tenggara meliputi pulau-pulau disekitarnya sehingga
geografis Sulawesi Tenggara dapat dibedakan antara daratan (Kabupaten Kendari
dan Kolaka) dan kepulauan (Kabupaten Buton dan Muna).
B.
Rumusan
Masalah
1. Bagaimana
kondisi Sulawesi Tenggara pada akhir abad ke 19 ?
2. Bagaimana
keadaan di daerah Sulawesi Tenggara dari tahun 1900-1928 ?
3. Bagaimana
keadaan di Sulawesi Tenggara dari tahun 1928-1942 ?
C.
Tujuan
Penulisan
1. Untuk
mengetahui tentang kondisi Sulawesi Tenggara pada akhir abad ke 19 ?
2. Untuk
mengetahui keadaan di daerah Sulawesi Tenggara dari tahun 1900-1928 ?
3. Untuk
mengetahui tentang keadaan di Sulawesi Tenggara dari tahun 1928-1942 ?
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Sulawesi
Tenggara Pada Akhir Abad ke 19
Pemerintahan
1.
Kesultanan
Buton
a. Bentuk
Pemerintahan
Buton
telah menerima agama Islam pada 948 H (1541 M) dan sejak itu raja-rajanya
bergelar Sultan. Pada awal abad XVII Sapati (Perdana Menteri) La Singga telah
mengumandangkan Islam menjadi dasar keperintahan dan pemerintahan kerajaan. Sejak
itu kealiman dalam ilmu agama menjadi ukuran pengangkatan pejabat-pejabat
kerajaan dari Sultan sampai pejabat terendah. Kesultanan Buton mencapai puncak
kebesarannya pada jaman Sultan Muh Idrus yang memerintah pada 1824-1851. Dua
anaknya berturut-turut memerintah sesudahnya yaitu Sultan Muh Isa (1851-1871)
dan Sultan Muh Shalihi (1871-1885). Mereka dari golongan bangsawan Kumbewaha.
Perkawinan antar golongan bangsawan sering terjadi sehingga untuk menentukan
jenis golongan dilihat dari aliran bapak. Dewan yang mempunyai wewenang mengangkat
Sultan adalah Sio Lim Bona yaitu sembilan orang Bonto (Kepala Negeri) dari
sembilan limbo. Pada awalnya Kerajaan Buton hanya ada 4 limbo yang kemudian
menjadi 9 limbo pada masa pemerintahan Raja Buton III. Sio Limbona ini juga
bertugas mengawasi jalannya peraturan kepemerintahan dan mencatat silsilah
ketiga golongan Kaumu meneliti gerak-gerik, tingkah laku para bangsawan khususnya
dan rakyat pada umumnya. Dalam jalannya pemerintahan, Sultan dibantu oleh
sapati, kenepulu, lakina surowolio, lakina baadiya, kapitalau matanayo,
kapitalau sukanayo, bonto ogena matanayo, bonto ogena sukanayo. Tugas utama
dari sapati adalah menjalankan pemerintahan dan undang-undang kerajaan, jadi
sapati itu semacam Perdana Menteri atau Mahapatih.
b. Wilayah
dan Tata Keperintahan
Menurut
Ligtvoet wilayah Kesultanan Buton meliputi Pulau Buton, Pulau Muna, Pulau
Kabaena, Pulau-pulau kecil sekitar Pulau Buton dan Pulau Muna, pulau-pulau
Tukang Besi, Poleang dan Rumbia yang terletak di Jazirah Tenggara Pulau
Sulawesi. Wilayah bawahan kesultanan Buton dapat dibedakan atas wilayah inti,
Moronene, dan Barata.
-Wilayah Inti
Wilayah inti terbagi
atas dua jenis yaitu wilayah Bonto dan wilayah Bobato. Wilayah Bonto yaitu
wilayah yang diperintah oleh kaum Walaka yang berjumlah 30 negeri yang disebut
Kadie. Sedangkan wilayah Bobato yang berjumlah 40 Kadie adalah pengembangan
wilayah dari sembilan negeri yang masing-masing mempunyai raja sendiri-sendiri
yang disebut dengan Lakina yang mula-mula menggabung ke dalam Kerajaan Buton.
-Daerah Moronene
Terdiri dari 3 wilayah
yaitu pulau Kabaena, Poleang, dan Rumbia yang merupakan daerah yang diperintah
langsung secara adat, tetapi tidak langsung dalam keperintahan. Kabena secara
tradisional merupakan wilayah dari Sapati. Keadaan ini bersumber dari pengangkatan
Sapati yang pertama yang menurut tradisi berasal dari Kabaena. Demikian pula
dengan Poleang dan Rumbia yang masing-masing mempunyai kepala pemerintahan,
tetapi secara adat keduanya masuk dalam wilayah Bonto yaitu Bontona Wandailolo
dan Bontona Somba Marusu.
-Barata
Wilayah Barata adalah
wilayah yang dianggap dan diharapkan untuk menjaga kestabilan kerajaan. Barata
kesultanan Buton masing-masing mengatur dirinya dengan Dewan Legislatif dan
Dewan Pemerintahannya sendiri-sendiri. Pada pertengahan abad XIX semua Barata
kecuali Muna sudah merupakan wilayah yang menyatu dengan Buton. Muna dengan
berpegang teguh pada tradisi hubungannya dengan Buton sebagai 2 kerajaan
bersaudara selalu menolak kedudukan dianggap Barata dari Buton.
c. Hubungan
Dengan Belanda
Perjanjian Buton dengan
Belanda sejak jaman VOC (1613) memuat hal-hal pokok sebagai berikut :
-Bantuan pada Belanda
jika diperlukan.
-Aturan pelayaran dan
perdagangan.
-Persetujuan Belanda
jika mengangkat raja baru.
-Kawan/lawan Belanda
adalah kawan/lawan Buton.
-Larangan mengadakan
hubungan dengan bangsa lain.
-Penerbangan
pala/cengkeh di wilayah Buton diganti ruginya.
Pada tahun 1667 Buton
telah menandatangani perjanjian dengan VOC dimana Buton diharuskan menebang
pohon cengkeh dan pala yang ada dalam kerajaannya dengan imbalan kerugian
seratus ringgit setahun. Juga ditetapkan bantuan Belanda kepada Buton berupa
mesiu dan peluru. Bantuan kepada Buton dari Belanda ditingkatkan lagi pada
tahun 1865.
2.
Kerajaan
Konawe-Laiwui
a. Bentuk
pemerintahan
Kerajaan
Konawe diawali dengan munculnya tokoh Sangia Ndudu yang bersama To Lahianga. Kerajaan
ini terbagi atas 3 kerajaan yang masing-masing dikepalai oleh seorang Mokole
(Raja). Kerajaan-kerajaan itu adalah Padangguni, Wawolesea, dan Besilutu.
Kemudian bentuk pemerintahan dari Kerajaan Weikola ini tidak diketahui kecuali
berita tradidi tentang adanya Wati sebagai pembantu Mokole. Beberapa generasi
kemudian muncul pula Sangia Ndudu ketiga yang digelar Anawai Ngguluri. Menjelang
pertengahan abad XVI Kerajaan Konawe diperintah oleh Mokole Melamba. Menurut
tradisi, Melamba bersaudara dengan Halu Oleo yang kemudian menjadi Sultan Buton
I dengan gelar Murhum. Pada pertengahan abad XVII di jaman pemerintahan Tebawo
terjadi perubahan struktur pemerintahan. Mulai saat itu dikenalah dalam
kehidupan Kerajaan Konawe adanya Siwole Mbatohuu dan Pitu Dula Batu. Pengibaratan
kerajaan Konawe sebagai suatu Siwole dapat dilihat adanya pembagian kerajaan ke
dalam 4 wilayah pemerintahan atau pemberian semacam otonomi kepada
wilayah-wilayah tersebut. Pembagian wilayah Konawe ke dalam Siwole
Mbatohuu dan ditempatkannya para kabinet
kerajaan di luar ibukota dengan wilayahnya masing-masing mengancam keutuhan
kerajaan Konawe. Tiap-tiap wilayah memupuk dirinya dan melonggarkan hubungan
dengan Mokole di Unaaha.
b. Wilayah
dan Tata Keperintahan
Pada
sekitar pertengahan abad XVI wilayah Konawe meliputi seluruh jazirah tenggara
Sulawesi dan kemudian Moronene menjadi wilayah kerajaan Buton. Walaupun sejak
akhir abad XVIII Mokole Konawe sudah tidak ada tetapi kesatuan adat Kerajaan
Konawe masih berdiri dalam diri Sulemandara. Wilayah kerajaan Konawe pada
pertengahan abad XVII terdiri atas 4 wilayah Siwole Mbatohuu, 7 wilayah Pitu
Dula Batu, 1 wilayah Inea Sinumodan 1 wilayah Andoolo (Konawe Selatan). Sesudah
kerajaan Konawe runtuh dan tiap-tiap wilayah mengatur dirinya masing-masing
maka ada beberapa wilayah yang tergabung ke dalam wilayah lain dan ada pula
yang menonjol. Ranomeete menonjol malah mendirikan kerajaan sendiri dengan
cita-cita mempersatukan kembali bekas kerajaan Konawe ke dalam Kerajaan Laiwui.
Rintangan besar yang dihadapi Laiwui untuk mempersatukan bekas Konawe adalah
anggapan bangsawan Konawe bahwa Laiwui adalah Kerajaan yang cikal bakalnya
orang asing (Bugis).
c. Hubungan
Dengan Belanda
Bagi
VOC rupanya Konawe dianggap tidak penting karena pusat kerajaannya terletak di
pedalaman. Tetapi ada berita tradisi yang menyatakan bahwa Konawe memberikan
bantuan pada Aru Palaka dalam Perang Gowa dengan mengirimkan pasukan-pasukan
dibawah komando Kapitalau Sambara yang bernama Haribau. Perjanjian Pajang yang
ditandatangani La Mangu pada 13 April 1858 merupakan perjanjian pajang yang
pertama ditandatangani oleh raja Sulawesi Selatan dan Tenggara. Perjanjian-perjanjian
dengan Belanda yang dibuat oleh La Mangu dan Sao-Sao dengan Belanda hanya
mengikat Laiwui karena wilayah lain dari bekas Konawe tidak mengakui mereka
sebagai raja. Sao-sao pada awal abad XX berusaha menghubungi pemimpin bekas
wilayah Konawe tetapi ia tidak berhasil mempersatukan wilayah Konawe menjadi
Laiwui. Dan usaha Sao-Sao ini didukung oleh Belanda dan akhirnya Haji Taataa
dalam usahanya membantu Sao-Sao mengadakan persetujuan dengan Sulemandara dan
kepala-kepala wilayah bekas kerajaan Konawe. Dan pada akhirnya usaha tersebut
bertujuan untuk mempersatukan wilayah bekas Konawe di bawah Sao-Sao.
3.
Kerajaan
Mekongga
a. Bentuk
pemerintahan
Raja
Mekongga yang pertama adalah La Rupalangi. Dalam hal perkembangan wilayah
Kerajaan Mekongga maka struktur pemerintahan mengalami perkembangan juga.
Diadakan jabatan-jabatan Sara Wonua yaitu Dewan Kabinet kerajaan yang terdiri
dari Kapita sebagai menteri keamanan dan sekaligus wakil raja, sapati yang
menangani pemerintahan dan kesejahteraan, serta pabitara yang mengurus masalah
adat-istiadat. Dewan Agung Mekongga yang merupakan lembaga legislatif adalah
gabungan dari kabinet dengan semua kepala wilayah bawahan.
b. Wilayah
dan Tata Pemerintahan
Pada
awalnya, Kerajaan Mekongga hanya meliputi 7 kampung di sekitar Kolaka yang
masing-masing dikepalai oleh seorang Toono Motuo. Perkembangan wilayah Mekongga
tidak berlangsung melalui peperangan tetapi melalui perkawinan. Dalam
perkawinan orang Tolaki dikenal adanya tiari yaitu pemberian hadian kepada
pengantin dari pihak orang tua sebagai saluran pembagian warisan.
c. Hubungan
Dengan Belanda
Sampai
tahun 1906 tidak ada berita tentang hubungan langsung antara Belanda dengan
Mekongga. Hubungan Mekongga dengan Belanda oleh Belanda dianggap tercakup dalam
hubungannya dengan Luwu. Pada abad ke 19 Luwu 2 kali menandatangani Perjanjian
Panjang dengan Belanda :
-16 September 1861 oleh
Raja Luwu Abd Karier Tobarua.
-15 September 1887 oleh
Datu Luwu Iskandar Opu Larompaong.
Perjanjian ini seirama
denngan perjanjian Buton-Belanda 1873, tetapi secara riil Belanda belum
mencampuri pemerintahan dalam kerajaan Luwu.
Sosial
Budaya
1. Pendidikan
Sampai
akhir abad ke 19, kerajaan-kerajaan Sulawesi Tenggara merupakan kerajaan yang
berdaulat penuh ke dalam. Perbatasan dari pihak Belanda hanya terbatas pada
adanya persetujuan Belanda dalam pengangkatan raja baru jika terjadi pergantian
raja. Pendidikan masih berlangsung secara tradisional dengan pengembangan yang
timbul di pusat-pusat kerajaan dengan meningkatkan keterampilan membaca dan
menulis. Di Buton sejak awal abad ke 18 terdapat perpustakaan yang berfungsi
sebagai pusat pendidikan khususnya pendidikan agama. Disana diajarkan ilmu-ilmu
agama. Pada jaman Sultan Muh Idrus, bahasa Arab merupakan bahasa pengantar atau
bahasa resmi khusus dalam lingkungan keraton Buton. Puncak dari hasil pendidikan
ini terdapat dalam diri Sultan Muh Idrus yang dapat mengarang beberapa buku
dalam bentuk puisi yang beraliran keagamaan, kepatriotan, politik dan filsafat.
Sultan Muh Idrus dapat mengarang dalam bahasa Arab. Kemampuan ini diperolehnya
melalui pendidikan dalam keraton Buton. Pendidikan pada masa-masa sebelum abad
ke 20 menyangkut kebutuhan berbagai ilmu. Termasuk didalamnya ilmu
kemasyarakatan, filsafat, politik, hukum, ekonomi, bahasa dan lain-lain. jadi
tidak hanya sekedar membaca Al Quran. Dan sembahyang.
2. Seni-Budaya
Kehidupan
seni budaya sampai pada akhir abad ke 19 dapat dikatakan merupakan lanjutan
dari kehidupan seni budaya pada masa-masa sebelumnya. Tarian-tarian rakyat yang
diadakan pada berbagai peristiwa yang diadakan menurut tradisi masing-masing
tetap berlangsung seperti masa sebelumnya. Kesenian pada masa-masa bukan hanya
sebagai hiburan tetapi yang pokok merupakan sarana ekspresi kelompok masyarakat
dalam menghayati peristiwa tertentu yang diharuskan oleh tradisinya
masing-masing. Penghayatan agama Islam yang membawa pengaruh besar akan
kehidupan sosial tentunya membentuk akan situasi dan selera dalam menghayati
seni budaya yang diwarisi secara tradisional. Namun di Buton timbul suatu
pengembangan pesat dalam bidang seni sastera yaitu munculnya sastra tulis. Seni
sastra Kabanti seperti pantun yang sebelumnya diubah secara lisan menjelang
pertengahan abad ke 19 telah diubah secara tertulis.
3. Alam
Pikiran dan Kepercayaan
Agama
Islam masuk ke Sulawesi Tenggara sebelum tahun 1550 dan sejak awal abad ke 17
Islam merupakan sendi kerajaan Buton. Sejak itu kehidupan sosial, politik dan
budaya tersusun berlandaskan ajaran Islam. Pemantapan Islam dalam kehidupan
sosial dan pemerintahan serta penyebarannya diawali dari istana, seperti
masuknya agama Islam juga diawali dari istana. Beberapa raja dikenal sebagai
penyebaran dakwah Islamiyah dan membangun masjid-masjid dalam kerajaannya.
Pendidikan keagamaan sampai akhir abad ke 19 merupakan suatu kebutuhan
masyarakat yang utama. Kealiman dalam ilmu keagamaan dalam segala aspek dan
prospeknya menjadi idaman dari setiap keluarga. Pengetahuan dalam ilmu agama
Islam menentukan status sosial dan politik dari setiap orang. Menjelang akhir
abad ke 19 agama Islam dengan pusat pancaran dari istana telah dapat menjangkau
sampai pelosok-pelosok Sulawesi Tenggara dengan pengertian bahwa semakin jauh
dari pusat maka semakin lemah daya pencarannya. Semua kerajaan-kerajaan
Sulawesi Tenggara adalah kerajaan yang diperintah dengan landasan Islam, Islam
merupakan agama kerajaan dengan perwujudan maksimal pada Buton yang dinyatakan
sebagai suatu Sultanat atau Kesultanan.
Kehidupan
Ekonomi
Secara geografis Sulawesi Tenggara dapat dibagi atas
2 wilayah yaitu wilayah daratan dan wilayah kepulauan. Daerah Sulawesi Tenggara
dihuni oleh orang Tolaki dan orang Moronene di ujung bagian barat daya (Poleang
dan Rumbia) sedangkan kepulauan dihuni oleh beberapa suku. Yang terbesar adalah
suku Muna dan sebagian pulau Buton. Kemudian suku Buton yang sebenarnya terdiri
dari beberapa suku-suku termasuk penduduk Wakatobi sedangkan penduduk pulau
Kabaena termasuk suku Moronene. Penduduk bagian daratan Sulawesi Tenggara
penduduknya hidup dari pertanian, sedangkan daerah kepulauan penduduknya hidup
dari bertani, nelayan, dan berdagang. Makanan pokok orang Tolaki adalah beras
dan sagu. Orang Moronene termasuk penduduk pulau Kabaena hidup dengan makanan
pokok beras. Orang Muna dan Buton makanan pokoknya adalah ubi-ubian dan jagung.
Tradisi Muna mengungkapkan bahwa jagung dikenal disana sejak abad ke 16 melalui
Ternate. Sejak itu jagung merupakan makanan pokok disamping ubi-ubian yang
menggantikan kedudukan Wute sau yang sebelumnya dikenal pula sebagai makanan
pokok. Ubi kayu jenis beracun juga merupakan makanan pokok di Buton dan Muna.
Di sementara tempat di Buton dan Muna pada abad ke 19 juga ditanam padi.
Kebutuhan beras untuk kepulauan Buton dan Muna rupanya untuk golongan elite dan
para pendatang yang menetap disana didatangkan dari Makassar yaitu beras putih
dan dari Kendari dari Moramo didatangkan beras merah dalam bentuk gabah.
Tanaman pangan yang lain adalah pisang, kelapa dan khusus di Buton juga ditanam
jeruk cina. Di Muna banyak ditanam kopi yang hasilnya dapat diperdagangkan ke
luar. Penduduk pantai utamanya di pulau-pulau hidup pula sebagai nelayan.
Kehidupan nelayan ini dikerjakan disamping mengolah tanah untuk kebutuhan
primernya. Nelayan tidak saja menangkap ikan tetapi usahanya meliputi
pengumpulan teripang, penangkapan penyu dan pencarian rumput laut malah
penyelaman mutiara dan hasil-hasil laut lainnya. Sampai pada akhir abad ke 19
Sulawesi Tenggara mengeluarkan hasil-hasil seperti teripang, penyu, agar-agar,
kopi, lilin, mutiara, kulit dan tanduk kerbau, ekor ikan, kapas, bahan-bahan
pewarna dari akar dan kulit pohon soga.
B.
Keadaan
di Daerah Sulawesi Tenggara Dari Tahun 1900-1928
a.
Pengaruh
Politik Kolonial Belanda dan Desentralisasi di Sulawesi Tenggara
1. Masuknya
Belanda
Kekuasaan
pemerintah Hindia Belanda tidak langsung memasuki wilayah Sulawesi Tenggara
sebelum tahun 1906. Perjanjian-perjanjian panjang sesudah pertengahan abad ke
19 yang ditandatangani oleh Sultan Buton pada tahun 1858 dan 1885 dan Datu Luwu
pada tahun 1861 dan 1887, walaupun berisi pengakuan bahwa wilayahnya merupakan
wilayah Hindia Belanda, tetapi kenyataannya kerajaan itu masih berdaulat dalam
mengurus pemerintahannya tanpa campur tangan dari Pemerintah Belanda. Pada saat
itu Belanda hendak memaksakan penempatan aparat pemerintahannya di Buton tetapi
ditolak dengan tegas oleh Sultan Muh Umar. Justru beliau mempersiapkan diri
untuk berperang melawan Belanda dengan mendirikan pusat-pusat pertahanan di
beberapa tampat dalam kerajaannya. Ranomeeto sejak awal abad ke 19 telah
menyatakan diri sebagai suatu kerajaan yang berdaulat dengan nama Liwui dan mengadakan
hubungan luar antaranya dengan Belanda. Pada tanggal 16 April 1906, Raja Laiwui
menandatangani Lang Contract yang juga pernah dilakukannya pada tahun 1885.
Sejak itu maka di Kendari ditempatkan seorang Gezaghebber. Namun demikian
kekuasaan Belanda belum dapat mencapai daerah-daerah di luar kekuasaan Sao-Sao.
Mereka menyatakan bahwa kedatangan Belanda merupakan ancaman fatal bagi
pengaruh politik meraka dan akan merusak tata kehidupan tradisional mereka
secara turun-temurun. Datu Luwu yang juga membawahi Mekongga ditaklukkan
Belanda pada tahun 1905 dan terpaksa menandatangani perjanjian pada Belanda. Di
bagian utara timbul perlawanan-perlawanan sengit terhadap Belanda yang dipimpin
oleh H Hasan dan Tejabi. Daerah Moronene yang merupakan daerah pengaruh
kesultanan Buton dimasuki Belanda pada tahun 1910. Mokole Poleang bersama
pengikutnya menentang kedatangan Belanda di daerahnya.
2. Pemerintah
Belanda
Setelah
Belanda berhasil membuat raja-raja Sulawesi Tenggara tunduk kepadanya, maka
Belanda berusaha mengamankan seluruh wilayah golongan-golongan bangsawan atas
kepala-kepala wilayah setempat yang menunjukkan sikap menentang. Sampai pada
1910 kerajaan Buton, Muna dan Mekongga telah dapat diamankan dan dikuasai
sepenuhnya, sedangkan Laiwui berlanjut sampai pada tahun 1917. Hal ini
disebabkan karena sebelumnya kerajaan ini terbagi atas wilayah bekas kerajaan
Konawe yang masing-masingnya mengurus dirinya sendiri. Kerajaan Buton dan
Laiwui dalam struktur Pemerintahan Belanda digabung menjadi Afdeling Buton, Onderafdeling
Muna, dan Onderafdeling Kendari. Sampai tahun 1928 Laiwui masih dibawah
pemerintahan militer Belanda. Demikian pula Muna dan Kolaka. Dalam pembagian
Onderafdeling ini kelihatan adanya suatu keunikan yaitu Onderafdeling Muna
wilayahnya lebih luas dari Kerajaan Muna. Kerajaan Muna teerbagi atas 4 distrik
tetapi Onderafdeling Muna terdiri dari 7 distrik yaitu distrik kerajaan Muna
ditambah Tiworo, Wakarumba dan Kalingsusu dari Kerajaan Buton. Belanda mulai
menjalankan pajak pada tahun 1908 di Sulawesi Tenggara setelah pencatatan jiwa
diadakan sebelumnya dengan memberikan kartu penduduk. Pajak ini berupa uang
yang harus dibayar oleh setiap wajib pajak tiap tahun. Pajak tradisional yang
di Buton dikenal sebagai weti yang merupakan pajak wilayah yang umumnya terdiri
dari hasil bumi. Lalu ditambah dengan kewajiban kerja rodi, pajak ini sangat
berat dirasakan oleh rakyat. Pelaksanaan
pajak dianggap oleh rakyat sebagai tindakan yang melampaui batas dari Belanda.
Di Mekongga dan Liwui banyak rakyat yang menyingkir ke gunung-gunung berladang
di tempat-tempat terpencil karena masalah pajak. Sistem pemerintahan Belanda
yang mengubah struktur bawahan dari setiap kerajaan merupakan pukulan keras
terhadap kemasyarakatan tradisional. Jabatan bawahan kerajaan tradisional
mengenai elite masing-masing, dimana dalam sistem Belanda pejabat-pejabat ini
diangkat oleh Belanda dan diberi gaji pula. Terkadang pengangkatan kepala
distrik tidak memenuhi selera rakyat
banyak karena tidak sesuai dengan perasaan tradisionalnya khususnya dalam
derajat elitenya. Dengan pembentukan wilayah distrik dan kampung-kampung banyak
diantara bangsawan wilayah kehilangan fungsi dan pengaruhnya. Sikap perlawanan
dan tidak suka akan Belanda ini bukan karena pajak dan merusak struktur
masyarakat tradisional tetapi juga turut didasari atas perasaan keagamaan
dimana Belanda dianggap orang kafir. Masyarakat menerimanya sebagai suatu
kenyataan yang kemudian merosotkan sendi-sendi dan kaidah-kaidah masyarakat
tradisional secara drastis. Ditambah dengan beban pajak yang semakin berat
menjadikan kehidupan lahir batin semakin merosot.
3. Kehidupan
Sosial Ekonomi
Sejak
tahun 1906 Keperintahan kerajaan-kerajaan Sulawesi Tenggara mulai langsung
dicampuri oleh Belanda. Pejabat sipil dan militer mulai ditempatkan secara
permanen. Pajak ditetapkan ditambah kewajiban bekerja beberapa hari lamanya
untuk kebutuhan pemerintahan. Beberapa bangsawan daerah bawahan yang wilayahnya
dirombak ke dalam distrik kehilangan kedudukannya sehingga warisan kebesaran
tradisionalnya berangsur-angsur hilang. Jika sebelumnya menerima pajak
tradisional dan menyuruh kerja, maka mereka harus membayar pajak dan disuruh
bekerja. Tindakan Belanda lainnya adalah larangan memiliki senjata api padahal
banyak bangsawan-bangsawan yang pernah memilikinya termasuk meriam. Selain itu
Belanda dengan keras melarang penjualan budak dan melarang mempekerjakan orang
tanpa diberi gaji, sedangkan budak dan pengabdian merupakan ciri khusus dalam
masyarakat tradisional. Bea masuk dan ke luar barang-barang dagangan langsung
diurus dan diawasi oleh pemerintah Belanda. Tindakan-tindakan Belanda ini
mempunyai pengaruh besar atas kehidupan masyarakat tradisional yang telah
teradat dan diwarisi turun-temurun. Timbul ras antipati dari masyarakat yang
terkadang menjurus pada terjadinya perlawanan terbuka yang dipertegas dengan
anggapan bahwa Belanda adalah kafir. Politik desentralisasi Belanda berhasil
mencapai tujuannya yaitu melenyapkan struktur, ambisi dan aspirasi masyarakat
tradisional walaupun kerajaan tetap dipertahankan untuk diperalat. Mata
pencaharian penduduk hampir tidak mengalami perubahan. Makanan pokok rakyat
juga tidak mengalami variasi yaitu beras dan sagu. Hasil-hasil utama yang
diekspor adalah kulit/ tanduk kerbau, mutiara, kulit kayu bakau dan akar
bangkudu. Dalam perdagangan, sistem barter masih sering dilakukan.
Barang-barang yang menjadi penukar dari hasil-hasil rakyat selain uang adalah
kain, garam, dan alat-alat rumah tangga. Tahun 1911 Pemerintah Belanda
menganjurkan penanaman jati. Anjuran ini banyak dilaksanakan dan bibitnya
disamping bibit yang telah ada di Muna juga didatangkan dari Jawa. Pada kira-kira
tahun 1925 dibukalah perkebunan jati.
b.
Kegiatan
Masyarakat Yang Dapat Dikatakan Relevan Dengan Embrio Proses Kebangkitan
Nasional di Daerah
Kegiatan
masyarakat yang dapat dikatakan relevan dengan ataupun yang merupakan embrio
proses jaman kebangkitan nasional di daerah tidak dapat ditelusuri jika yang
dimaksud adalah yang semacamnya timbul di Jawa sampai tahun 1928. Sampai
menjelang tahun 1920, terkadang Belanda masih harus mengadakan gerakan-gerakan
pasifikasi. Pemerintahan militer di Muna dan Laiwui mulai berakhir pada tahun
1927. Perlawanan yang dihadapi Belanda antara tahun 1906-1928 adalah perlawanan
mempertahankan diri secara tradisional yaitu menentang masuknya penjajah.
Keadaan ini yang mewarnai sikap Belanda walaupun zaman itu terkenal dengan
adanya politik etis. Yang terjadi di Sulawesi Tenggara adalah politik kolot
Belanda yaitu politik menguasai dengan kekuatan senjata. Pelaksanaan politik
desentralisasi tidak menonjol etisnya tetapi sebaliknya. Akibat bagi rakyat
adalah hancurnya secara bertahap tetapi sendi-sendi masyarakat tradisional,
beratnya beban kehidupan karena adanya pajak dan kerja wajib dan munculnya
ikatan-ikatan peraturan baru yang tidak dikenal sebelumnya yang mengekang
kebebasan dalam usaha memenuhi kebutuhan hidup. Usaha pendidikan yang
dijalankan Belanda sesudah tahun 1910 yang berupa pendirian sekolah-sekolah di
beberapa tempat belum dapat menimbulkan suatu elite baru pada tahun 1928 untuk
mampu mengendali apalagi mendirikan usaha-usaha organisasi. Pendidikan
tradisional dengan kaitan agama lebih dirasakan kebutuhannya dari pendidikan
sekolah yang diadakan Belanda. Suatu berita dari Muna mengungkapkan adanya
kegiatan atau Laode Mizani yang mendakwahkan pelaksanaan syariat Islam sampai
ke pelosok-pelosok yang merupakan aliran Ahlusunnahwaljamaah. Kegiatan Laode
Mizani ini timbul sesudah tahun 1920 dimana Belanda secara total telah dapat
menguasai Sulawesi Tenggara. Masa 1920-1930 di Sulawesi Tenggara adalah masa
transisi dimana terjadi transformasi sosial yang menjurus kepada frustasi
karena hancurnya sendi-sendi masyarakat tradisional dalam menuju suatu sistem
masyarakat baru diatas reruntuhan itu. Sebaliknya gerakan Ahlusunnahwaljamaah
dari Laode Mizani ini dapat dilihat sebagai suatu embrio gerakan Kebangkitan
Nasional pada saat itu dalam ukuran Sulawesi Tenggara.
c.
Interaksi
di Daerah
1. Politik
Sampai
dengan tahun 1928 tidak ada berita tentang adanya suatu partai politik di
Sulawesi Tenggara. Gerakan Aro Kamboi (Laode Mizani) yaitu aliran
Ahlusunnahwaljamaah di Muna dapat diduga sebagai akibat dari pengaruh PSSI
tahun-tahun sebelumnya. Tidak jelas apakah Aro Kamboi pernah keluar ataukah
pengaruh datang dari luar Muna melalui orang-orang tertentu. Yang jelas bahwa
seorang yang membantunya berasal dari Sulawesi Selatan yang bernama Manamang. Gerakan
Aro Kamboi pada saat itu yang tersirat dalam kalimat “Belanda akan pergi dan
suatu saat Negeri kita akan kita perintah sendiri.” Hal ini mengakibatkan Aro
Kamboi pernah ditangkap Belanda.
2. Agama
Agama
Islam memasuki Sulawesi Tenggara pada tahun 948 H/1541M. Ulama yang mula-mula
membawa Islam yaitu Syeh Abd Wahid tiba di Buton bersama-sama dengan seorang
yang dikenal sebagai Imam Pase. Syeh abd Wahid berhasil mengislamkan raja Buton
ke VI yang kemudian menjadi Sultan Buton I dan dikenal dengan nama Murhum. Pada
awal abad ke17 di zaman pemerintahan Sultan Buton IV, diundangkan Martabat
Tujuh dari aliran Tarekat Wujudiah sebagai dasar keperintahan dan pemerintahan
Kesultanan Buton. Selanjutnya Martabat Tujuh menjadi dasar kehidupan sosial
budaya dan politik. Derajat kelimaan dalam ilmu agama menentukan atau menjadi
dasar pertimbangan utama dalam pengangkatan pejabat-pejabat kerajaan. Proses
Islamisasi di Sulawesi Tenggara bermula dari istana raja-raja setempat dan
secara bertahap menerobos sampai ke pelosok-pelosok. Pada awal abad ke 20, Islam
merupakan agama yang dianut oleh seluruh penduduk Sulawesi Tenggara kecuali
Morpnen. Sedangkan agama Kristen masuk ke Sulawesi Tenggara bersamaan dengan
datangnya tentara dan pegawai pemerintah Belanda. Di Raha selain adanya
penganut Kristen Protestan ada pula penganut Kristen Roma Katolik. Nederlandsche
Zending Vereniging adalah satu-satunya organisasi gereja yang diluaskan
menyebarkan agama Kristen di Sulawesi Tenggara yang wilayahnya terbatas pada
daratan jazirah Sulawesi Tenggara. Gereja Kristen yang ada di tiap ibukota
Onderafdeling hanya dikhususkan bagi pegawai dan tentara dan tidak mempunyai
fungsi penyebaran. Misi Katolik di Muna pada tahun 1930 mendapatkan izin
penyebaran diluar kota Raha. Agama Islam yang berkembang di daerah Sulawesi
Tenggara sejak pertengahan abad ke 16 telah berhasil menempah struktur sosial,
budaya dan politik ke dalam bentuk yang dihayati sebagai kebudayaan. Namun
sisa-sisa kebudayaan sebelum Islam masih dapat dilihat dalam beberapa bentuk.
Kecuali Buton yang menggelar rajanya sebagai Sultan daerah-daerah lain tetap
memakai gelar sebagai Manreramantera dalam upacara-upacara yang berasal dari
pra Islam melalui modifikasi. Di Buton dan Muna terutama di pedalaman
upacara-upacara panen masih dilaksanakan di tempat-tempat tertentu yang
dianggap keramat dan tentunya dengan mantera-mantera yang telah diwarnai baru
karena pengaruh Islam. Dapat disimpulkan bahwa baik Islam maupun Kristen memasuki
Sulawesi Tenggara dengan menyerap aspek-aspek budaya setempat, dengan kata lain
bahwa kedua agama ini mewarnai kebudayaan asli masyarakat. Justru penganut
Kristen yang berasal dari keluarga Islam sebelumnya, masih tetap mempertahankan
sikap dan nilai sosial pra Kristen yang sedikit banyaknya sangat dipengaruhi
oleh sikap dan nilai sosial Islam sampai pada larangan yang bersumber dari
Islam itu masih ada yang dipantangkannya walaupun mereka telah memeluk agama
Kristen. Yang berpengaruh kuat dalam hal ini adalah hubungan kekerabatan yang
tetap dipelihara walaupun dalam kenyataannya mereka telah berbeda keyakinan.
3. Pendidikan
Pendidikan
sebelum tahun 1906 merupakan pendidikan tradisional yang dibagi atas pendodokan
keterampilan di lapangan dan pendidikan yang berlandaskan ilmu agama yang
diawali dengan pengajian Al Quran kemudian melebar ke ilmu kemasyarakatan,
politik, ekonomi, filsafat, dan disertai ilmu bela diri. Di Buton terdapat
suatu kekhususan dengan diajarkannya Bahasa Indonesia dengan buku pegangan yang
disiapkan. Selain itu juga dipelajari bahasa dan tulisan Bugis/Makassar.
Sekolah yang pertama didirikan pemerintah Belanda adalah Sekolah Anak Bumi
Putra di Bau-Bau pada tahun 1908. Menyusul Raha pada tahun 1910, Kendari 1916
dan di Kolaka Landshap school didirikan pada tahun 1918. Pada tahun 1918/1919
Zending yang berpusat di Mowewe mulai mendirikan sekolah-sekolah. Sekolah yang
pertama didirikan adalah di Rate-Rate dan kemudian Mowewe pada tahun 1920.
Usaha Zending dalam bidang pendidikan di pedalaman sebenarnya tidak terlalu
disukai oleh Pemerintah Belanda karena dapat membawa pengaruh kepada masyarakat
sehingga ketentraman kurang terjamin. Kurang terjaminnya ketentraman ini
disebabkan adanya ciri tidak menerima kegiatan Zending oleh masyarakat Islam
apalagi Zending diidentikkan sebagai Belanda. Ketidaksenangan Belanda akan
usaha Zending membuka sekolah-sekolah di pedalaman dianggap sebagai menanam
bibit yang dapat berbahaya dikemudian hari dengan melihat usaha-usaha dari kaum
pergerakan di Jawa pada waktu itu yang umumnya terdiri dari kaum terpelajar. Dari
golongan Islam sampai tahun 1928 belum ada usaha mendirikan sekolah karena pada
saat itu belum ada organisasi Islam di Sulawesi Tenggara.
4. Seni
Budaya
Kedatangan
Belanda pada tahun 1906 di Sulawesi Tenggara yang diikuti dengan peraturan
pemerintahannya menggoncangkan sendi-sendi masyarakat tradisional yang
terjadinya suatu proses transformasi sosial yang drastis. Masa 1906-1918
merupakan masa pasifikasi karena kehadiran dan tata cara pemerintahan dan
penguasaan Belanda mendapat reaksi yang cukup keras. Masa itu adalah masa
politik etis Belanda sehingga tindakan Belanda di Sulawesi Tenggara merupakan
tindakan dua muka yang sebenarnya berlawanan yaitu tindakan kolonial dan
tindakan etis. Pada zaman itu pemerintahan Belanda mendirikan sekolah-sekolah
dan menindas kelompok-kelompok yang menentang kehadirannya dan tindakannya.
Masa 1918-1928 adalah masa dimana rakyat harus menyesuaikan diri dengan keadaan
baru sehingga terjadi suatu proses transformasi sosial yaitu hilangnya
sendi-sendi masyarakat tradisional menuju masyarakat baru. Masa ini tidak
memungkinkan adanya kreasi-kreasi baru di bidang seni budaya. Ahli-ahli seni
budaya tradisional akan hilang fungsi dan kedudukan sosialnya dimana ahli-ahli
baru belum dapat diterima begitu saja kemunculannya. Di zaman inilah banyak
materi-materi seni budaya Sulawesi Tenggara mulai ditinggalkan kemudian
dilupakan sama sekali. Para ahli seni budaya kemudian hilang satu persatu.
Golongan muda yang muncul kemudian hampir tidak memperhatikan warisan seni
budayanya karena masyarakatnya telah berganti.
5. Pers
Di
Sulawesi Tenggara tidak pernah diterbitkan suatu media pers. Tetapi menjelang
tahun 1928 pers dari lain daerah telah dapat mencapai Sulawesi Tenggara
walaupun pembacanya hanya terbatas pada aparat pemerintah seperti pegawai dan
guru.
C.
Keadaan
Di Sulawesi Tenggara Dari Tahun 1928-1942
a. Pengaruh
Politik Pemerintah Hindia Belanda
Kedatangan
Belanda di Sulawesi Tenggara pada tahun 1906 disusul dengan tindakan-tindakan
drastis dalam mengatur pemerintahannya. Di Buton sistem pemerintahan kerajaan
tetap dipertahankan di tingkat pusat dimana tingkat bawahan dibentuk kembali
menjadi bagian-bagian yang disebut distrik. Jabatan yang menyangkut kemiliteran
kerajaan dihapuskan demikian pula jabatan yang mengurusi ekonomi dihapuskan
karena keduanya langsung ditangani Belanda. Dengan memperalat raja-raja
setempat dan pembagian wilayah bawahan ke dalam struktur baru yang tidak
dikenal sebelumnya, Belanda menjelang tahun 1930 berhasil merombak sistem
masyarakat tradisional walaupun mendapat tantangan-tantangan sporadis yang
dengan mudah dapat dipadamkan. Sisa-sisa sistem masa lampau yang ada hanya
terbatas pada lingkungan istana kerajaan. Dalam struktur pemerintahan Belanda,
Sulawesi Tenggara pada mulanya tergabung dalam Bestuur Afdeling Oost Celebes
(Sulawesi Timur) yang meliputi wilayah sampai dengan Luwuk Banggai. Pegawai-pegawai
karajaan menjadi pegawai pemerintah. Pembentukan sistem pemerintahan Belanda
dan pembukaan sekolah-sekolah ditambah dengan petugas-petugas keamanan menambah
banyaknya pegawai pemerintah. Pengangkatan pegawai setempat ini dapat diperkirakan
jumlahnya mengingat pembukaan sekolah baru dilaksanakan sekitar tahun 1910.
Golongan pegawai termasuk pegawai kerajaan menjadi elite masyarakat yang sangat
menonjol kira-kira tahun 1930. Masyarakat yang baru saja kehilangan sendi-sendi
tradisionalnya, pada sekitar tahun 1930 mulai hidup kembali dengan aspirasi dan
prospek baru. Mereka menyadari bahwa aspirasi-aspirasi itu hanya dapat dicapai
melalui pendidikan. Pegawai-pegawai yang didatangkan dari daerah lain membawa
pengaruh tersendiri yang mendorong kepenghayatan masyarakat modern. Melalui
mereka pula ide-ide baru dalam politik, agama dan sosial budaya mulai dikenal
dan mempengaruhi. Pembukaan jalan ke pelosok-pelosok, pelayaran yang ramai dan
tetap membawa perkembangan di bidang ekonomi. Perdagangan hasil hutan dan hasil
laut, pembukaan onderneming, pembukaan tambang menjadikan Sulawesi Tenggara
lebih mantap dalam pengelolaan dan pengusahaan bidang ekonomi. Perdagangan
antar pulau yang dilakukan oleh pelayar-pelayar setempat dan yang dari luar
daerah semakin ramai. Pada tahun 1930 hampir tidak dikenal lagi sistem barter
dalam perdagangan. Peredaran uang telah dikenal sampai ke pelosok-pelosok. Pada
tahun 1920 perdagangan dengan Moronene masih dilakukan secara barter. Dan pada
sekitar akhir 1924 pengusaha Jepang sudah ada yang menetap di Buton.
b. Depresi
Ekonomi 1930
Pemerintah
sipil Belanda dimantapkan pada tahun 1927/1928 sesudah dirasakannya adanya
kestabilan di Sulawesi Tenggara. Belanda telah berhasil melaksanakan
transformasi sosial setelah masa pasifikasi dilaluinya dalam jangka waktu
relatif pendek. Keamanan dan sikap masyarakat yang menunjang memungkinkan
pertumbuhan ekonomi yang meyakinkan. Sarana perhubungan yang mantap, pembukaan
onderneming yang telah mulai berproduksi pada tahun 1925, pengeluaran
hasil-hasil hutan, pengolahan kayu, pembukaan tambang sangat menggairahkan
Belanda dalam mengelola ekonomi Sulawesi Tenggara. Dalam keadaan yang penuh
harapan ini timbullah depresi ekonomi dunia yang gelombangnya juga mencapai
Sulawesi Tenggara. Pada tahun 1930 rakyat Sulawesi Tenggara sebagian lepas dari
sistem barter. Pengenalan akan kehidupan dengan sarana tukar yang berupa uang
ini tentunya membawa pengaruh akan sikap hidup masyarakat. Akibat dari depresi
ekonomi setelah macetnya perdagangan yang berarti rakyat tidak dapat menjual
hasil hutan, hasil bumi dan ternaknya. Dengan kata lain pada saat itu rakyat
sangat sulit untuk memiliki uang. Kebutuhan pokok mungkin dapat dipenuhinya
tetapi kebutuhan sekunder yang harus dibeli tidak dapat diperolehnya karena
tidak mempunyai uang. Yang sangat berat dirasakan oleh rakyat adalah pembayaran
pajak, karena tidak snaggup membayar pajak dan takut pada tindakan pemerintah
maka banyak rakyat yang meninggalkan kampungya dan mengungsi ke pedalaman dan
berladang di gunung-gunung. Keadaan ekonomi yang membuat rakyat tidak dapat mencari
uang untuk membayar pajak. Tindakan Belanda pada saat itu yang merupakan akibat
depresi ekonomi adalah adanya beberapa orang yang ditangkap dan ada yang sampai
dibuang dengan dalih tidak mau membayar pajak. Mereka yang ditangkap dan
dibuang adalah mereka yang dianggap mempelopori dan menghasut rakyat untuk
tidak membayar pajak.
c. Pendidikan
Pada
tahun 1930 semua distrik dan onderdistrik telah mempunyai sekolah.
Sekolah-sekolah ini kebanyakan berkelas 3 kecuali di Bau-Bau (Buton), Raha
(Muna), Kendari dan Wawotobi (Kendari) dan Kolaka yang samoai kelas 5. Pada
tahun 1938, Zending telah berhasil membuka 16 sekolah (SD) dan sebuah HIS di
Kendari. Pada tahun 1942 jumlah SD Zending 27, satu HIS (Kendari) dan 3 sekolah
lanjutan. Missi Katolik di Muna pada tahun 1932 membuka pula sekolah di
pedalaman Muna disamping sekolah yang telah ada di Raha. Pada saat itu
Muhammadiyah membuka pula 2 sekolah agama di Muna. Di Kolaka Utara pada tahun
1937 Pemuda Muslimin Indonesia berhasil mendirikan Sekolah Arab.
Sekolah-sekolah Muhammadiyah di Muna ditutup pada tahun 1935 karena gurunya La
Kare ditangkap Belanda dan diasingkan bersama-sama dengan seorang tokoh
Muhammadiyah lainnya.
d. Keadaan
Di Sulawesi Tenggara Menjelang Keruntuhan Pemerintah Hindia Belanda
1. Sikap
Pemerintah Hindia Belanda Terhadap Rakyat
Baru
saja Belanda berhasil secara keseluruhan mentralisir gerakan-gerakan organisasi
yang mempunyai aspirasi politik di Sulawesi Tenggara meletuslah Perang Dunia
II. Dalam keadaan ini Belanda merasa ragu akan sikap rakyat yang baru saja
berhasil dinetralisir aspirasi politiknya. Belanda berkesimpulan bahwa pada
dasarnya rakyat Sulawesi Tenggara tidak menyukai kehadirannya. Penjajahan
Belanda atas Sulawesi Tenggara yang praktis baru bermula pada tahun 1906 dan
mendapat tantangan-tantangan keras, dan dapat diselesaikan pada tahun 1927
sehingga pemerintahan sipil dapat dimantapkan pada tahun 1928. Kesadaran bahwa
pada hakekatnya rakyat Sulawesi Tenggara termasuk diantaranya pegawai
pemerintah tidak menyukai kehadirannya yang dibarengi kampanye kehebatannya.
Sebelum kedatangan Jepang, Belanda menangkap 3 orang Jepang yang sejak lama
bermukim di Sulawesi Tenggara dan merampas semua miliknya. Menjelang kedatangan
Jepang, Belanda tidak mempunyai kesiagaan militer dan justru cenderung untuk
meninggalkan dan mengosongkan Sulawesi Tenggara. Yang ditinggalkan di Kendari
hanya sepasukan KNIL dengan persenjataan minim walaupun Belanda menyadari arti
strategis Kendari ditinjau dari sudut taksis militer.
2. Keadaan
Mayarakat
a. Sosial
Ekonomi
Menjelang
Perang Dunia II kedudukan Pemerintah Belanda telah mantap sekali di Sulawesi
Tenggara. Aspirasi tradisional yang pernah menentang kehadiran Belanda pada
sekitar tahun 1906 telah lenyap. Masyarakat tradisional baik sistem maupun pola
wawasannya dapat dikatakan telah lenyap. Yang tersisa hanyalah sisa-sisa
feodalisme yang dengan maksimal dipergunakan oleh Belanda dalam melaksanakan
pemerintahannya. Masyarakat tradisional yang homogen sebelum tahun 1906 telah
digantikan oleh masyarakat yang heterogen yang timbul di kota-kota karena
timbulnya golongan pegawai yang multi suku. Golongan pegawai ini menjadi
golongan elite dalam masyarakat merupakan sumber gerakan dan interaksi
masyarakat yang sangat mempengaruhi kehidupan sosial budaya masyarakatnya.
Dengan keadaan inilah terwujudnya kekuasaan Pemerintah Belanda dan lancar serta
aman menjelang Perang Dunia II. Keadaan ekonomi begitu meyakinkan setelah
Depresi Ekonomi dapat dilalui. Hasil hutan laut dan pertanian dapat dipasarkan
dengan baik karena lancarnya hubungan. Kemajuan di bidang ekonomi ini tidak
dapat dinikmati oleh rakyat karena secara maksimal dan langsung karena potensi
ekonomi mereka tidak punya. Kehidupan ekonomi dikuasai oleh Belanda dan Cina,
sedangkan rakyat hanya pengumpul dan peramu. Di Muna timbul golongan masyarakat
yang mengharap supaya dengan segera Jepang datang dan mengusir Belanda. Harapan
ini bukan dilandasi kesukaan akan Jepang, tetapi mengharapkan akan adanya suatu
perubahan dalam pemerintahan untuk mengurangi pajak yang memberatkan tersebut.
b. Pendidikan
Pada
sekitar tahun 1940 sekolah-sekolah telah dibuka sampai di pedalaman yaitu
distrik/onderdistrik dan di beberapa desa. Sekolah-sekolah ini adalah Sekolah
Rakyat yang lama belajarnya 3 tahun. Zending juga banyak membuka
sekolah-sekolah di desa yaitu Sekolah Rakyat 3 tahun. Pada tahun 1940 di
Onderafdeling Muna terdapat 12 VS, 1VVS, dan 2 VS Misi.di Kolaka yang terdiri
dari 3 Distrik terdapat 5 VS, 1VVS dan 8 VS Zending. Di Kendari terdapat HIS
kepunyaan Zending disamping beberapa VS yang dibukanya di desa-desa dalam
Onderafdeling Kendari.
c. Agama
Agama
Islam mengalami gelombang kemajuan dalam sudut pemantapan ajarannya sejak akhir
abad ke 19. Islam telah menjadi panutan seluruh rakyat, tetapi pedalaman ajaran
dan syariat belum berwujud secara rampung. Pada sekitar tahun 1930 muncullah
Muhammadiyah yang membawa modernisme Islam yang hanya mendapat pengikut
utamanya para pemuda. Era 1930 sampai datangnya Jepang agama Islam di Sulawesi
Tenggara merupakan masa pemantapan dan kebangkitan Islam setelah mengalami
kemerosotan dalam arti praktisasi dalam kehidupan sosial sebagai akibat
keruntuhan sendi-sendi masyarakat tradisional sejak kedatangan Belanda. Kerajaan
Buton adalah suatu Kesultanan berdasar Islam dimana Islam menjadi sendi
politik, sosial, dan budaya. Setelah campur tangan Belanda, praktisasi Islam
dalam kehidupan politik, sosial dan budaya mengalami hantaman dan merosot
praktisasinya sejalan dengan keruntuhan sendi-sendi masyarakat tradisionalnya.
Secara keseluruhan modernisme Muhammadiyah membawa angin baru dalam kehidupan
masyarakat. Elite besar adalah pengikut sekurang-kurangnya simpatisan dari
Muhammadiyah. Zending dikenal sejak 1915 sedangkan Misi Katholik pada tahun
1912. Namun sebelumnya agama Kristen telah masuk ke Sulawesi Tenggara sejak
masuknya Belanda yaitu melalui para pegawai di tiap ibukota Onderafdeling.
3. Sikap
Masyarakat Terhadap Pemerintah Belanda
Pada
dasarnya rakyat menolak kehadiran Belanda untuk memerintah secara langsung di
Sulawesi Tenggara. Sebelum tahun 1906 Kerajaan Buton dan Laiwui telah beberapa
kali menandatangani perjanjian dengan Belanda. Perjanjian pertama dengan
Belanda ditandatangani oleh Sultan Buton IV pada tahun 1613.
Perjanjian-perjanjian tersebut dianggap pada mulanya sebagai perjanjian
persahabatan dan saling menolong. Sesudah pertengahan abad ke 19, Kerajaan
Buton dan Laiwui juga Luwu yang membawahi Mekongga merupakan wilayah Hindia
Belanda tetapi pemerintahan tidak dicampuri secara langsung. Tetapi sesudah
tahun 1906 apalagi setelah ditandatangani Perjanjian Pendek, Belanda secara
langsung dengan dukungan tentaranya mencampuri pemerintahan. Hal ini tidak
dapat diterima begitu saja oleh rakyat terutama golongan elite tradisional.
Pada sekitar tahun 1930 kesadaran politik secara pelan telah merambat masuk
Sulawesi Tenggara yang tercetus dalam beberapa organisasi. Gerakan Kebangkitan
Nasional ini memuncak pada tahun 1935-1938. Dengan usaha maksimal Belanda dapat
menetralisir gerakan yang berorientasi politik kemerdekaan Indonesia menjelang
pecah Perang Dunia II. Warisan antipati elite tradisional yang menentang
kehadiran langsung Belanda dalam pemerintahan yang disusul dengan segera oleh
gerakan politik dengan orientasi Indonesia Merdeka mewarnai sikap masyarakat
pada sekitar tahun 1940-an. Sikap ini menonjol sekali di Muna dimana masyarakat
setelah pecahnya Perang Asia Timur Raya mengharap dengan degera kehadiran
Jepang untuk mengusir Belanda.
4. Saat-Saat
Terakhir Pemerintahan Hindia Belanda di Sulawesi Tenggara
Sulawesi
Tenggara adalah wilayah yang dianggap pelosok dalam Pemerintahan Hindia
Belanda. Tindakan pertama Belanda sesudah meletusnya Perang Asia Timur Raya
adalah penangkapan orang-orang Jepang yang sejak lama bermukim di Sulawesi
Tenggara. Menjelang kedatangan Jepang, Belanda sudah bersiap untuk meninggalkan
Sulawesi Tenggara. Justru tidak lama sebelum pendaratan Jepang di Kendari,
suatu tim dari Makassar datang menjemput Belanda. Buton dan Muna dikosongkan
sama sekali, sedangkan di Kendari masih tertinggal sepasukan KNIL dan beberapa
personil Belanda yang juga selalu bersiap mengundurkan diri ke pedalaman dan
jika dapat menerobos ke Sulawesi Selatan. Dalam keadaan tersebut raja-raja
tidak mengambil suatu langkah politik, tetapi bersifat menunggu perkembangan.
Pada dasarnya mereka bersama rakyat hanya menunggu kehadiran Jepang.
e. Kedatangan
Pasukan Pendudukan Jepang
1. Propaganda
Jepang
Tidak
didapatkan informasi secara khusus tentang adanya propaganda Jepang menjelang
kedatangannya di Sulawesi Tenggara. Propaganda dianggap tidak perlu karena
rupanya dari awal Jepang telah menyadari bahwa pendudukan atas Sulawesi
Tenggara tidak akan mengalami kesulitan baik dari segi militer maupun dari segi
politik. Bagi Jepang dalam strategi ofensifnya menilai Sulawesi Tenggara
khususnya Kendari sebagai tempat yang sangat potensial setelah Morotai di
Maluku Utara. Pada sekitar tahun 1920 di Sulawesi Tenggara telah bermukim
beberapa orang Jepang. Di Kendari datang Tomutsu Ohitshi yang membuka toko dan
onderneming kelapa. Besar dugaan bahwa kedudukannya di Sulawesi Tenggara
merupakan penugasan dari pemerintah Jepang. Sesudah meletusnya Perang Asia
Timur Raya, orang Jepang yang telah lama bermukin di Sulawesi Tenggara ini
ditangkap oleh Pemerintah Belanda. Pada saat itulah baru ketahuan bahwa
ketiganya adalah intelijen Jepang yang merupakan perwira tentara yang rupanya
sengaja ditempatkan di Sulawesi Tenggara dengan tugas khusus menyelidiki medan
dan kekuatan tantara Belanda serta situasi sosial dan politik. Dapat
disimpulkan bahwa Jepang telah memperoleh informasi lengkap tantang Sulawesi
Tenggara yang strategis itu sebelum Perang Asia Timur Raya meletus. Informasinya
sangat lengkap tentang keadaan medan yang sangat dibutuhkan dan keadaan sosial
politik tidak serta kekuatan militer Belanda.
2. Kedatangan
Pasukan Jepang
Beberapa
waktu setelah serangan Jepang atas Pearl Harbour yang membuka Perang Asia Timur
Raya atau Perang Pasifik, tentara Jepang telah menyerbu ke selatan. Sasaran
pertama ditujukan pada Filipina yang dimulai pada tanggal 10 Desember 1941.
Serangan Jepang ke selatan berlangsung dengan cepat walaupun sebenarnya
perlawanan yang berat masih dihadapinya di Filipina. Serangan kilat ke selatan
ini yang menjadi tugas dari armada ke 2 selatan dilaksanakan beberapa hari
setelah jatuhnya Manila dengan melalui dua jalur yaitu jalur Selat Makassar
diduduki Jepang masing-masing pada 10 Januari 1942 dan 20 Januari 1942. Jalur
Maluku yang dianggap penting dalam perhitungan strategis perang dalam jangka
panjang, perhatian Jepang terpusat pada Morotai dan Kendari. Kendari dapat
diduduki Jepang pada tanggal 26 Januari 1942. Dari cara pendaratan Jepang ini
dapat diketahui bahwa Jepang sebelumnya telah mendapatkan informasi lengkap tentang
Sulawesi Tenggara khususnya Kendari. Kota Kendari didarati tentara Jepang dari
3 jurusan. Ketiga pasukan ini pendaratan ini tidak mengalami perlawanan dari
pihak tentara Belanda. Di Ponggolaka mereka bertemu dengan rombongan pendeta
Zending dengan 2 orang pembantunya bersama Lasandara Kapita Kerajaan Laiwui.
Pasukan Jepang dari Sampara dalam perjalanannya memasuki Kendari mendapat
perlawanan dari KNIL. Setelah menduduki kota Kendari, tentara Jepang menuju
lapangan terbang Kendaridua yang jauhnya 30 km dari Kendari. Dengan cepat
Kendari diatur dan dibenahi sebagai kota yang memegang peranan penting sebagai
tempat pertahanan Jepang yang sangat diperkuat. Kendari selain basis komando
juga merupakan tempat bengkel dan docking serta gudang perbekalan/peralatan
dari tentara Jepang.
3. Sikap
Jepang Terhadap Aparatur Pemerintah Hindia Belanda
Ekspansi
Jepang ke Selatan yang dalam kurun waktu singkat menduduki Filipina, Indo Cina,
Malaya, dan Singapura serta Indonesia bagian Utara segera terbukti memencilkan
pusat Pemerintah Hindia Belanda di Jawa. Keadaan ini telah diperhitungkan
sebelumnya sehingga sejak semula Belanda telah bersiap untuk mundur ke
Australia jika keadaan sangat mendesak. Suatu tim dari Makassar telah datang
menjemput semua aparat Pemerintahan Hindia Belanda untuk diungsikan. Tetapi
rupanya Jepang telah menduduki Kendari. Pada saat kedatangan Jepang praktis
pemerintahan Belanda di Sulawesi Tenggara telah tidak ada. Yang ada hanyalah pemerintahan
Swapraja yang tetap menjalankan fungsinya walaupun dalam keadaan yang sangat
menegangkan. Tentara pendudukan Jepang segera menawan semua pastor/pendeta
Belanda dan sisa-sisa tentara KNIL. Pada bulan Desember 1942 Sultan Buton
bersama para pembesar kerajaannya datang di Kendari menemui Panglima pendudukan
Jepang. Di Kendari, Raja Tekaka segera mengakui kekuasaan Jepang dan tetap
menjalankan pemerintahan sebagai Raja I sedangkan Kapita La Sansara ditetapkan
sebagai Raja II yang berkedudukan di Wawotobi. Tidak lama kemudian pemerintahan
sipil Jepang dibentuk dengan tetap mempertahankan sistem pemerintahan Belanda
sebelumnya. Walaupun strukturnya sebagai pemerintahan sipil, tetapi dalam
kenyataannya merupakan pemerintahan militer yang penuh ketegasan dengan segala
tindakan ditujukan kepada kesuksesan perang sehingga terwujud dalam suatu
pemerintahan fasis.
4. Sikap
Jepang Terhadap Bangsa Indonesia
Pada
mula kehadiran Jepang kelihatan bahwa Jepang ada usaha untuk mengambil hati
rakyat dan aparat pemerintahan Swapraja. Tindakan tegas Jepang pada orang
Belanda dan Cina dibarengi dengan menunjukkan hati baik pada penduduk asli.
Penganut Kristen sangat dicurigai sebagai antek Belanda sedangkan golongan
Islam didekati. Orang Kristen sangat dikekang kegiatannya dan pernah dilarang
mengadakan kebaktian. Semua sekolah Zending dan Misi diambil alih menjadi
sekolah neheri. Tetapi pemuka-pemuka Islam diperbolehkan mendirikan sekolah
Jamiatul Muslimin dan beberapa pemuda Islam diluaskan untuk melanjutkan
pelajaran di sekolah-sekolah Islam di Makassar. Pemuda-pemuda diberikan
latihan-latihan kepemudaan yang tergabung dalam Seinendan. Beberapa diantaranya
sempat memasuki pendidikan/latihan Heiho. Untuk meningkatkan produksi rakyat
diberikan bimbingan dalam bidang pertanian. Penanaman kapas digiatkan,
lumbung-lumbung desa diadakan. Kemudian muncul sifat asli fasis dari Jepang terhadap
rakyat. Dalam usaha mensukseskan perangnya, Jepang sangat membutuhkan banyak
tenaga sukarela tanpa dibayar. Kemudian dinamakan dengan Romusha. Rakyat
digilirkan setiap 2 bulan bekerja pada Jepang untuk membangun kubu-kubu dan
lapangan terbang. Tenaga rakyat sangat dikuras, apalagi Kendari merupakan basis
Jepang yang harus dibangun dengan segala kebutuhan pertahanan dan kepentingan
perang. Pengurasan tenaga rakyat sangat memerosotkan hasil pertanian. Dapat
disimpulkan bahwa pendudukan Jepang di Sulawesi Tenggara merupakan masa yang
paling pahit bagi rakyat. Makan tidak cukup, tenaga dikuras, pakaian hampir
tidak punya, justru penyakit merupakan ancaman tersendiri.
5. Sikap
Bangsa Indonesia Terhadap Jepang
Zaman
pendudukan Jepang merupakan zaman penuh siksa yaitu zaman penderitaan yang
dibayangi ketakutan dan terkadang menonjol dalam bentuk penghinaan atas harkat
kemanusiaan. Keadaan ini harus diterima dengan penuh pasrah karena tidak punya
daya sama sekali. Namun demikian tidak pernah timbul suatu usaha perlawanan
terbuka dari rakyat terhadap Jepang. Di Kolaka Utara, Tojabi yang pernah
menentang Belanda dan tua sekali ditangkap Jepang dan ditawan ke Palopo. Tojabi
adalah penentang Belanda yang tidak dapat ditangkap dan menduduki tersendiri
dalam hati rakyat setempat. Ketegasan dan kekejaman Jepang pada rakyat ini
membawa efek samping yang bersifat positif di kemudian hari yaitu rakyat
terutama para pemuda mengagumi keberanian dan disiplin dari orang Jepang.
Pengenalan akan alat-alat perang modern juga membawa pengaruh khusus pada
kalangan pemuda, demikian pula akan praktek dan tata cara kemiliteran Jepang.
BAB
III
PENUTUP
Kesimpulan
Buton telah
menerima agama Islam pada 948 H (1541 M) dan sejak itu raja-rajanya bergelar
Sultan. Pada awal abad XVII Sapati (Perdana Menteri) La Singga telah
mengumandangkan Islam menjadi dasar keperintahan dan pemerintahan kerajaan.
Sejak itu kealiman dalam ilmu agama menjadi ukuran pengangkatan pejabat-pejabat
kerajaan dari Sultan sampai pejabat terendah. Kesultanan Buton mencapai puncak
kebesarannya pada jaman Sultan Muh Idrus yang memerintah pada 1824-1851.
Kerajaan Konawe diawali dengan munculnya tokoh Sangia Ndudu yang bersama To
Lahianga. Kerajaan ini terbagi atas 3 kerajaan yang masing-masing dikepalai
oleh seorang Mokole (Raja). Raja Mekongga yang pertama adalah La Rupalangi.
Dalam hal perkembangan wilayah Kerajaan Mekongga maka struktur pemerintahan
mengalami perkembangan juga. Sampai akhir abad ke 19, kerajaan-kerajaan
Sulawesi Tenggara merupakan kerajaan yang berdaulat penuh ke dalam. Perbatasan
dari pihak Belanda hanya terbatas pada adanya persetujuan Belanda dalam
pengangkatan raja baru jika terjadi pergantian raja. Pendidikan masih
berlangsung secara tradisional dengan pengembangan yang timbul di pusat-pusat kerajaan
dengan meningkatkan keterampilan membaca dan menulis. Kehidupan seni budaya
sampai pada akhir abad ke 19 dapat dikatakan merupakan lanjutan dari kehidupan
seni budaya pada masa-masa sebelumnya. Tarian-tarian rakyat yang diadakan pada
berbagai peristiwa yang diadakan menurut tradisi masing-masing tetap
berlangsung seperti masa sebelumnya. Agama Islam masuk ke Sulawesi Tenggara
sebelum tahun 1550 dan sejak awal abad ke 17 Islam merupakan sendi kerajaan
Buton. Sejak itu kehidupan sosial, politik dan budaya tersusun berlandaskan
ajaran Islam. Pemantapan Islam dalam kehidupan sosial dan pemerintahan serta
penyebarannya diawali dari istana, seperti masuknya agama Islam juga diawali
dari istana. Penduduk bagian daratan Sulawesi Tenggara penduduknya hidup dari
pertanian, sedangkan daerah kepulauan penduduknya hidup dari bertani, nelayan,
dan berdagang. Makanan pokok orang Tolaki adalah beras dan sagu. Orang Moronene
termasuk penduduk pulau Kabaena hidup dengan makanan pokok beras. Orang Muna
dan Buton makanan pokoknya adalah ubi-ubian dan jagung.
DAFTAR
PUSTAKA
Bhurhanuddin, dkk . 1978 . Sejarah Kebangkitan Nasional Daerah Sulawesi
Tenggara . Jakarta : Balai Pustaka .
Tidak ada komentar:
Posting Komentar