Rabu, 25 Juni 2014

PENGGUNAAN BUSANA RAJA DALAM UPACARA ADAT JUMENENGAN DI PURO MANGKUNEGARAN


BAB I

PENDAHULUAN

 

A.      Latar Belakang Masalah

Puro Mangkunegaran merupakan salah satu pusat budaya yang masih ada sebagai cagar budaya dan teguh dalam pelaksanannya, menjaga dan melestarikan warisan budaya leluhur bangsa. Pelestarian kebudayaan oleh pihak Mangkunegaran yaitu dengan cara membuka diri supaya masyarakat mengetahui budaya, tata cara dalam kehidupan sehari-hari, salah satunya adalah upacara adat jumenengan. Upacara adat jumenengan di Puro Mangkunegaran memiliki perbedaan dengan upacara adat yang dilaksanakan oleh keraton Surakarta dan Yogyakarta karena perbedaan status kedudukan Puro Mangkunegaran yang dibawah keraton Surakarta dan Yogyakarta. Sehingga perbedaan ini mempengaruhi dalam hal tata cara upacara adat dan perlengkapan terutama jenis dan bentuk busana upacara jumenengan. Latar belakang penggunaan busana raja dalam upacara adat jumenengan di Puro Mangkunegaran berpedoman pada tata aturan yang dibuat sejak Mangkunegoro ke IV menciptakan busana yang belum diberinya nama untuk menghadiri undangan PB IX di desa Kleyeran di tepi sungai Bengawan Solo pada tahun 1800 Jawa atau sekitar tahun 1875 Masehi. Kemudian baju tersebut disahkan dan diberi nama oleh PB IX yaitu langen harjan. Maka dari itu baju Langen Harjan menjadi baju kebesaran khas Puro Mangkunegaran.

Upacara adat jumenengan di Puro Mangkunegaran terdiri dari beberapa unsur-unsur pendukung yang tidak boleh dihilangkan salah satunya karena saling berkaitan yakni ampil-ampilan (pusaka Puro Mangkunegaran) berupa kacuan tempat pembuangan sirih, tempat sirih, payung atau songsong jenar, tombak, lar-laran kipas raja dari bulu merak, dua lopak-lopak untuk tempat uang dan emas, tameng dan gelas untuk minum raja. Semua benda tersebut akan mengiringi raja saat berjalan menuju hingga duduk didampar raja sampai dengan acara selesai. Selain ampilan prosesi jumenengan disertai dengan bunyi-bunyian gamelan dan pertunjukan tarian sakral Bedhaya Anglir Mendhung. Jenis-jenis pelengkap busana jumenengan berupa blangkon/desthar, kemeja putih, rompi, dasi kupu-kupu, ulur/kalung, bros, epek, timang, slepe (ikat pinggang), boro, keris, dan selop atau canela (alas kaki).

B.       Rumusan Masalah

1.      Bagaimana asal usul upacara adat jumenengan ?

2.      Bagaimana latar belakang penggunaan busana raja dalam upacara adat jumenengan  di Puro Mangkunegaran ?

3.      Bagaimana aturan pemakaian busana adat ?

4.      Apa saja perlengkapan dan simbolisme busana raja dalam upacara adat jumenengan di Puro Mangkunegaran ?

C.      Tujuan Penulisan

1.      Untuk mengetahui tentang asal usul upacara adat jumenengan.

2.      Untuk mengetahui tentang latar belakang penggunaan busana raja dalam upacara adat jumenengan di Puro Mangkunegaran.

3.      Untuk mengetahui aturan pemakaian busana adat.

4.      Untuk mengetahui tentang perlengkapan yang digunakan dan simbolisme busana raja dalam upacara adat jumenengan di Puro Mangkunegaran.


 

BAB II

PEMBAHASAN

 

A.    Asal Usul Upacara Adat Jumenengan

Sejarah tentang asal usul jumenengan berawal dari berdirinya kerajaan-kerajaan di Nusantara khususnya sejak adanya kerajaan Mataran Islam yang dipimpin oleh raja yang bernama Panembahan Senopati. Budaya pelantikan atau jumenengan itu sampai sekarang masih dilakukan meski dengan tata cara adat yang lain dari raja-raja yang berkuasa misalnya dari perlengkapan untuk pelantikan, pusaka-pusaka yang dikeluarkan dalam acara prosesi pengangkatan, penggunaan busana, dan beberapa hal yang disesuaikan dengan kehendak raja yang berkuasa diwaktu adanya pelantikan tersebut. Pelantikan seorang raja trah (garis keturunan) mataram biasanya diikuti dengan beberapa ritual mistik. Diantara ritual mistik yang sangat fenomenal adalah tarian Bedhoyo Ketawang yang ditarikan oleh wanita-wanita pilihan dalam keraton. Tarian Bedhoyo Ketawang ciptaan Sultan Agung, raja dari kerajaan Mataram bersama Kanjeng Ratu Kencanasari, seorang penguasa laut selatan yang juga disebut Kanjeng Ratu Kidul. Sebelum tari ini diciptakan terlebih dahulu Sultan Agung memerintahkan para pakar gamelan untuk menciptakan sebuah gendhing yang bernama Ketawang. Penciptaan gendhing menjadi sempurna setelah Sunan Kalijaga ikut menyusunnya. Tarian Bedhoyo Ketawang tidak hanya dipertunjukkan pada saat penobatan raja yang baru, namun juga pertunjukan setiap tahun sekali bertepatan dengan hari penobatan raja atau disebut Tingalan Jumenengan. Tarian Bedhoyo Ketawang tetap dipertunjukkan pada masa pemerintahan Sri Susuhan Paku Buwono ke XIII, hanya saja sudah terjadi pergeseran nilai filosofinya. Pertunjukan Bedhoyo Ketawang sekarang telah mengalami perubahan pada berbagai aspek, walaupun bentuk tatanan pertunjukannya masih mengacu pada tradisi ritual masa lampau. Namun nilainya telah bergeser menjadi sebuah warisan budaya yang nilai seninya dianggap patut untuk dilestarikan.

Untuk upacara jumenengan di Puro Mangkunegaran, tarian Bedhoyo Ketawang tidak ditampilkan karena status kedudukan dari Mangkunegaran yang dibawah Keraton Surakarta. Mangkunegaran hanya sebagai wilayah kabupaten, sehingga nama penguasanya adalah Adipati Anom sehingga tidak berhak untuk mengadakan acara sakral jumenengan dengan menampilkan tarian Bedhoyo Ketawang. Sebagai gantinya ditampilkan tari Bedhoyo Anglir Mendhung yang diciptakan berdasarkan kisah perang Pangeran Samber Nyawa dalam memerangi kompeni. Tarian ini juga baru ditemukan oleh kerabat Puro Mangkunegaran. Dalam acara pelantikan raja baru pengganti raja lama yang telah meninggal itu hanya ditarikan tari Bedhoyo Anglir Mendhung yang diciptakan oleh Pangeran Samber Nyawa, raja pertama Mangkunegaran. Tarian Anglir Mendung ini merupakan salah satu tarian yang keramat.

Jumenengan

Jumenengan memiliki pengertian pelantikan seorang raja baru menggantikan raja lama yang telah meninggal dunia, disertai dengan tata upacara adat.pelantikan seorang raja pada permulaan Mataram sebelum adanya campur tangan VOC. Disahkan oleh  sesepuh yang berpengaruh, baik dari kalangan dinasti/trah Mataram atau dari kalangan rakyat jelata diluar tembok keraton. Tetapi kompeni juga ikut terlibat dalam pelantikan raja Mangku Rat II kemudian putra mahkota Raden Mas Suryaputra (Mangku Rat IV), dan Paku Buwana II. Jumenangan adalah upacara adat yang khusus dipertunjukkan kepada raja. Selain upacara jumenengan atau pelantikan ada dua lagi yang berkaitan dengan upacara untuk raja yaitu Tingalan Jumenengan (hari peringatan dari kenaikan tahta raja yang diperingati setiap tahunnya dan Wiyosan Jumenengan (hari peringatan kelahiran dan kematian raja). Tingalan Jumenengan disesuaikan dengan tanggal dan bulan penobatan raja. Upacara jumenengan biasanya didahului dengan pemberian kenaikan pangkat dan gelar kepada para putra sentana, para kerabat keraton, dan abdi dalem. Pemberian pangkat dan gelar baru kepada orang-orang yang dianggap berjasa terhadap keraton, serta penganugrahan bintang-bintang tanda jasa kepada abdi dalem atau orang yang sangat berjasa dalam keraton.

B.     Latar Belakang Penggunaan Busana Raja Dalam Upacara Adat Jumenengan di Puro Mangkunegaran

Busana jumenengan raja Puro Mangkunegaran adalah busana Langen Harjan. Busana langen harjan diciptakan oleh Mangkunegoro IV pada waktu mendapat undangan dari Paku Buwana IX untuk menghadiri pasanggrahan atau tempat untuk menenangkan hati di desa Kleyeran di tepi sungai Bengawan Solo pada tahun 1800 Jawa atau sekitar tahun 1875 Masehi. Mangkunegoro IV merasa kedudukannya di bawah PB IX dan tempat pasowanan berada diluar dinding keraton, maka beliau berfikir jika menggunakan baju sikepan, baju yang kancingnya dari atas ke bawah dan dibiarkan terbuka, dan bagian dalamnya menggunakan baju putih, baju ini dipakai oleh seorang yang berpangkat KRMH yaitu Kanjeng Raden Mas Haryo dan KRTH yaitu Kanjeng Raden Haryo Tumenggung ke atas maka dianggap terlalu tinggi. Namun jika mengenakan baju beskap yaitu baju yang kancingnya berada di depan berbentuk tangkepan dari kanan ke kiri tersusun miring, baju ini boleh digunakan oleh siapa saja kecuali warna hitam hanya boleh dikenakan oleh putra dalem, sentana dalem, dan abdi dalem yang berpangkat KRTH. Setiba di Kleyeran, PB IX terheran-heran dan tertegun kemudian bertanya busana apa yang dikenakan Mangkunegoro IV, beliau kemudian menjawab bahwa baju tersebut belum memiliki nama. PB IX lalu memberikan nama baju yang dikenakan oleh Mangkunegoro IV dengan nama busana Langen Harjan. Nama tersebut sekaligus menjadi nama pasanggrahan tempat mereka bertemu, hingga sekarang tempat itu masih ada yaitu di desa Bacem, Grogol Sukoharjo.

C.    Aturan Pemakaian Busana Adat

Jenjang kepangkatan dan hak pemakaian dari busana berdasarkan tingkatan jabatannya :

a.       Busana Adat Putra

Busana putra bagi lingkup keraton dapat dikatakan sebagai pengagemen kejawen atau juga disebut busana Jawi Jangkep. Berdasarkan keperluannya, busana Jawi Jangkep dibedakan menjadi dua yaitu pakaian harian (padintenan) warna bukan hitam dan pakaian bukan harian (sanes padintenan) yaitu pakaian untuk upacara dan warnanya selalu hitam. Abdi dalem yang belum berpangkat bupati sepuh tidak diperkenankan memakai sikepan. Adapun yang menjadi perlengkapan busana Jawi Jangkep, khusus bagi busana laki-laki antara lain :

1.      Destar (ikat blangkon) dan kuluk.

2.      Rasukan krowok artinya berlubang di belakang sebagai tempat keris yang jenisnya ada 5 macam. Atelah yaitu kancing baju di tengah dari leher ke bawah, beskap yaitu kancing baju di kanan dan kiri, takwa yaitu seperti beskap yang bagian bawah lancip memanjang, Langen harjan yaitu seperti beskap tetapi di depan seperti jas tetapi kancing terbuka, sikepan yaitu seperti atelah tetapi kancing baju tidak dimasukkan dan di dalam memakai rompi berwarna putih.

3.      Sabuk semacam setagen.

4.      Epek, timang, dan lerep (semacam ikat pinggang).

5.      Nyamping : kain.

6.      Wangkingan atau keris.

7.      Lambaran suku atau selop/canela.

Perlengkapan busana Jawi Jangkep bagi kerabat keraton ada aturan yang disesuaikan dengan kedudukan dan kepangkatan antara lain :

a.       Dhestar/ kuluk : bagi abdi dalem jajar sampai dengan bupati dhestarnya harus menggunakan kuncung dan mondholannya cengkok. Akan tetapi bagi tiyang (orang) Nginggil (berpangkat) sampai dengan Pangeran Putra dhestarnya tidak memakai kuncung dan mondholannya jebehan. Kuluk untuk keperluan khusus misalnya untuk raja dan pengantin keraton.

b.      Rasukan Krowok : bagi abdi dalem jajar sampai dengan bupati, Santara Panji dan Riyo Ngandhap busananya atelah, tidak diperkenankan santana dalem Riyo Nginggil Pangeran Wayah dan Pangeran.

c.       Sabuk : khusus sabuk yang tergolong cindhe hanya untuk raja.

d.      Epek : untuk para pangeran putra, pangeran sentana dan Riyo Nginggil diperkenankan memakai sabuk yang bermotif untu walang berbordir, dan abdi dalem selain itu epeknya polos.

e.       Nyamping : khusus kain yang bermotif lereng hanya boleh dipakai oleh pangeran wayah dan pangeran putra. Bagi abdi dalem motif lereng tersebut tidak diperkenankan memakainya.

b.      Busana Adat Putri

Busana putri bagi keraton merupakan busana tradisional Jawa yang mencerminkan putri keraton. Istilah putri keraton mengisyaratkan adanya makna keibuan, keanggunan, kelembutan, kesopanan, dan sejenisnya dan bukan mengisyaratkan makna yang sebaliknya. Sama halnya dengan busana putra, busana putri juga disesuaikan dengan kedudukan atau kepangkatan bagi pemakainya. Kelengkapan busana putri keraton adalah ungkel atau sanggul, kebayak, semekan, setagen, januran dan slepe mirip epek dan timang pada busana putra, kain panjang (sinjang dan dhodhotan) atau nyamping. Kelengkapan busana tersebut pemakainya disesuaikan dengan umur, kepangkatan dan keperluannya. Sehubungan dengan hal itu di keraton dikenal adanya jenis atau model busana putri seperti sabukwala, sabuk wala kebayak, dhodhot ageng ngumbar kunca, semekan kancing wingking, picung kencong, bedhaya dhodhot klembrehan, kebaya cekak, kebaya panjang, dan busana pengantin basahan.

D.    Perlengkapan dan Simbolisme Busana Raja Dalam Upacara Adat Jumenengan di Puro Mangkunegaran

1.      Unsur-Unsur Pendukung Dalam Upacara Adat Jumenengan

a.       Cungkup/cangkir “Kecuan” tempat pembuangan sirih terbuat dari emas menyimbolkan proses membuat keputusan/kebijakan negara.

b.      Tempat sirih terbuat dari emas.

c.       Payung emas dengan nama Songsong Jenar menyimbolkan keagungan dan kewibawaan.

d.      Tombak.

e.       Lar badak terbuat dari bulu merak untuk kipas raja menyimbolkan kemuliaan, keagungan, dan keindahan.

f.       Lopak-lopak untuk tempat uang, terbuat dari emas menyimbolkan kemurahan hati dan kedermawanan.

g.      Lopak-lopak untuk tempat emas, terbuat dari emas.

h.      Tameng.

i.        Gelas untuk minum raja

Ampil-ampilan merupakan benda pusaka kebesaran Puro Mngkunegaran yang hanya dikeluarkan pada saat upacara penting di lingkungan Puro Mangkunegaran khususnya upacara-upacara yang berkaitan dengan raja seperti Tingalan Jumenengan, Wiyosan Ndalem, pernikahan, dan upacara pelantikan raja baru. Pada Pendopo Ageng terdapat empat set gamelan Jawa Kuno, yang satu digunakan secara rutin dan tiga lainnya digunakan hanya pada upacara khusus dan mengiringi tarian dengan nama Kanjeng Kyai Kanyut, Kanjeng Kyai Mesem, Monggang, Kyai Udan Asih, dan Udan Arum. Kyai kanyut Mesem, kyai Mesem dan gong yang bernama Kyai Anggun-anggun termasuk dalam pusaka yang dikeramatkan Puro Mangkunegaran dan dibunyikan pada saat acara pelantikan raja baru atau dalam upacara Tingalan Jumenengan raja. Tarian Bedhoyo Anglir Mendhung ditarikan pertama kali pada tanggal 19 Rabiul Akhir tahun Jawa 1714 (1787 Masehi) pada saat Tingalan jumenengan Mangkunegoro I dalam usia 62 tahun. Tarian Bedhoyo Anglir Mendhung adalah tarian sakral yang diciptakan oleh Mangkunegoro I. Tarian ini hanya ditarikan pada waktu penting saja seperti pada upacara-upacara adat yang ditujukan untuk raja. Sesaji/sajen dalam masyarakat Jawa merupakan unsur yang termasuk penting dan tidak dapat ditinggalkan, tidak boleh tercecer, dihilangkan salah satu wujudnya dan dianggap memiliki berkah kepada orang yang memakannya. Setelah selesainya upacara diselenggarakan, ada kepercayaan pelanggaran terhadap aturan tersebut akan mendatangkan bencana atau musibah bagi dirinya dan lingkungan sekitar. Sajen secara spiritual diperuntukkan kepada danyang, arwah nenek luhur dan hal-hal yang lebih bersifat gaib atau mistik. Sesajen lain yang masih berkaitan dengan upacara jumenengan adalah sego asahan, sego ghodong, sego uduk, sego punar, sego nogo sari, sego tumpeng, dan lain-lain yang berjumlah 9 bentuk. Sesaji yang berhubungan langsung dengan busana raja adalah sesaji Mahesa Lawung untuk pensucian busana raja. Sesaji ini dibuat khusus untuk upacara jumenengan raja. Sesaji ini diambil dari tempat di keraton Kasunanan Surakarta bernama Pawon Gondorasan dengan jumlah pada waktu itu sangat banyak sekali sehingga membawanya diangkut dengan 2 truk, satu diberangkatkan ke Kerdawahana dan satunya lagi ke Puro Mangkunegaran. Busana raja yang akan digunakan diletakkan pada sesaji Mahesa Lawung berharap mendapatkan berkah dan keselamatan dalam pemakaian busana tersebut pada waktu upacara jumenengan. Arti simbolisme dari sesajian ini adalah agar diberkati leluhur dan dilindungi dari roh-roh jahat. Sesajian ini diletakkan di tempat-tempat dimana upacara adat sedang berlangsung dan beberapa tempat yang dianggap keramat. Dampar (singgasana) atau kursi raja berada di dalam ruangan paringitan, dampar atau kursi kebesaran raja (singgasana) untuk Puro Mangkunegaran baru digunakan untuk pelantikan raja pada masa kemerdekaan atau pada waktu Mangkunegoro IX dilantik karena secara adat Puro Mangkunegaran tidak diperbolehkan membuat alun-alun, menanam pohon beringin kurung sakembaran, duduk diatas dampar, tidak diperkenankan membuat balai witana, tidak boleh menjatuhkan hukuman mati, dan berhari-hari tertentu harus menghadap ke Kasunanan Surakarta.

2.      Jenis-Jenis Perlengkapan dan Makna Simbolisme Busana Raja Dalam Upacara Adat Jumenengan di Puro Mangkunegaran

a.       Blangkon

Blangkon gaya Surakarta yang memiliki lar-lar dan pentolan belakang tidak mendol, sedangkan untuk gaya blangkon Yogyakarta memakai bendolan. Blangkon merupakan penutup bagian kepala orang Jawa kuno (tradisional) sebelumnya mengenakan iket yaitu ikat kepala yang dibentuk sedemikian rupa sehingga menjadi penutup kepala. Cara mengenakan iket harus kuat supaya ikatan tidak mudah terlepas. Iket merupakan simbol bahwa manusia seharusnya mempunyai pemikiran yang kuat, tidak mudah terombang-ambing hanya karena situasi atau orang lain tanpa pertimbangan yang matang. Hampir sama penggunaannya yaitu udheng atau lebih dikenal dengan istilah blangkon dikenakan di bagian kepala seperti mengenakan topi, blangkon/udheng pelengkap busana langen harjan bermotif cemukiran. Motif cemukiran pada blangkon dibatasi dengan garis tepi/pinggiran dengan motif batik modang. Motif cemukiran adalah lidah api yang mengandung makna kesaktian untuk meredam angkara. Hal ini mengandung ajaran bahwa sebelum bisa mengalahkan musuh dari luar harus bisa mengalahkan musuh yang datang dari diri sendiri (nafsu). Motif ini berkembang pada masa PB III dan hanya boleh dipergunakan Pepatihdalem dan Sentanadalem. Jika sudah dikenakan di atas kepala, iket dan udheng sulit dibedakan karena wujud dan fungsinya sama. Udheng dari kata kerja Mudheng atau mengerti dengan jelas. Blangkon merupakan simbol supaya manusia mempunyai pemikiran yang kukuh, mengerti, dan memahami tujuan hidup dan kehidupan atau sangkan paraning dumadi. Selain itu udheng juga mempunyai arti bahwa manusia seharusnya mempunyai keterampilan sehingga dapat menjalankan pekerjaannya dengan dasar pengetahuan yang mantap atau mudheng.

b.      Kemeja Langen Harjan Warna Hitam

Pemakaian rompi warna hitam seperti terlihat diatas dikenakan setelah pemakaian kemeja warna putih sehingga busana akan terlihat serasi perpaduan warna hitam dan putih. Rompi merupakan pelengkap untuk busana langen harjan khususnya yang dikenakan oleh raja dalam upacara adat jumenengan di Puro Mangkunegaran. Busana kejawen seperti langen harjan selalu dilengkapi dengan kancing baju/benik disebelah kiri dan kanan. Makna yang tersirat dalam benik itu adalah agar orang Jawa dalam melakukan semua tindakannya selalu diperhitungkan dengan cermat. Apapun yang akan dilakukan hendaklah jangan sampai merugikan orang lain, dapat menjaga antara kepentingan pribadi dan kepentingan umum. Warna busana langen harjan adalah hitam yang melambangkan sifat-sifat positif yaitu tegas, kukuh, formal, dan kekuatan mistis.

c.       Dasi kupu-kupu

Dasi kupu-kupu termasuk dalam perlengkapan atau aksesoris busana langen harjan yang tidak boleh ditinggalkan. Warna dasi yang dikenakan pada upacara jumenengan adalah warna putih sedangkan untuk upacara-upacara adat yang lain baik di lingkungan Puro Mangkunegaran maupun menerima undangan dari luar Puro, dasi yang dikenakan disesuaikan dengan warna baju langen harjan atau disesuaikan dengan minat raja sendiri.

d.      Kalung emas/ulur

Kalung atau dalam pengertian bahasa Jawa yaitu ulur merupakan pelengkap busana langen harjan setelah dasi. Ulur dikenakan pada leher menjuntai hingga di perut atau pusar. Kalung emas ini merupakan simbol bahwa si pemakai adalah kaum bangsawan atau mempertegas derajat kepangkatan dalam lingkup adat keraton. Adat pemakaian kalung di lingkungan keraton hanya raja, putra raja, dan diatas gelar kepangkatan KRT (Kanjeng Raden Tumenggung) yang hanya boleh mengenakan ulur emas tersebut.

e.       Bros

Bros dikenakan pada dada sisi kiri atas busana langen harjan. Bros menandakan delapan arah mata angin. Masyarakat Jawa memandang alam semesta terdiri dari delapan arah mata angin dengan pusatnya adalah Tuhan yang mempersatukan dan memberi keseimbangan. Bros ini mewakili artian tersebut. Sikap dan pandangan terhadap dunia nyata masyarakat Jawa tercermin pada kehidupan manusia dengan lingkungannya, susunan manusia dalam masyarakat, tata kehidupan manusia sehari-hari dan segala sesuatu yang terlihat oleh mata. Dalam menghadapi kehidupan manusia yang baik dan benar di dunia ini tergantung pada kekuatan batin dan jiwanya maka diharapkan dengan penggunaan bros pada busana langen harjan memiliki batin yang bersih dan memancarkannya seolah ke setiap arah mata angin tersebut.

f.       Epek

Epek untuk para pangeran putra, pangeran sentana dan Riyo Nginggil diperkenankan memakai sabuk yang bermotif untu walang berbordir, dan abdi dalem selain itu epeknya polos. Epek menurut orang Jawa mengandung arti bahwa untuk dapat bekerja dengan baik, harus epek (mencari) pengetahuan yang berguna. Selama menempuh ilmu diupayakan selalu untuk tekun, teliti, dan cermat sehingga dapat memahami dengan jelas. Dalam budaya Jawa, warna kuning dan merah merupakan simbol kasepuhan (yang dianggap tua). Sifat kasepuhan ini terlihat dalam bentuk lahir dan batin yang mencerminkan sabar, tidak berburu nafsu dan sejenisnya. Warna epek memiliki makna bahwa seorang raja harus memiliki jiwa kasepuhan yang mengayomi seluruh bawahannya dan memberikan rasa tenteram.

g.      Timang dan Slepe

Timang berfungsi mengancing slepe (ikat pinggang). Bahan yang digunakan dalam pembuatan timang berasal dari emas, perak, gading gajah yang diukir, emas dilengkapi permata, dan lain-lain. Timang bermakna bahwa apabila mendapatkan atau belajar mencari ilmu maka ilmu yang didapat harus dipahami dengan jelas atau gambling, tidak setengah-setengah, tidak akan ada rasa khawatir. Slepe atau ikat pinggang yang dikenakan bangsawan adalah bermotif sedangkan untuk umum biasanya polos atau tidak bermotif. Motif untuk raja adalah modang dengan warna emas melambangkan keagungan si pemakainya. Slepe selain sebagai pengencang ikatan pada perut juga mempunyai makna untuk mengendalikan hawa nafsu karena pusat kehidupan adalah di perut.

h.      Boro

Boro adalah kain yang diselipkan di epek dengan warna kuning dan memiliki rumbai-rumbai. Warna kuning bermakna keagungan si pemakai sebagai orang yang memiliki derajat kepangkatan tinggi.

i.        Keris

Keris merupakan sejenis senjata tikam khas yang berasal dari Indonesia. Berdasarkan dokumen-dokumen purbakala, keris dalam bentuk awal telah digunakan sejak abad ke 9. Masyarakat Jawa memiliki keyakinan bahwa keris ada roh penunggunya sehingga mampu menjadi parewanagan (pembantu gaib) yang bisa dimanfaatkan kesaktiannya. Keris memiliki berbagai macam bentuk misalnya ada yang bilahnya berkelok-kelok (selalu berbilang ganjil) dan ada pula yang berbilah lurus. Orang Jawa menganggap perbedaan bentuk ini memiliki efek esoteri yang berbeda. Selain digunakan sebagai senjata, keris juga sering dianggap memiliki kekuatan supranatural. Di daerah Jawa dan Sunda, keris ditempatkan di pinggang bagian belakang pada masa damai, tetapi ditempatkan di depan pada masa perang. Keris juga bisa berfungsi sebagai pertanda atribut utusan raja atau duta besar raja. Apabila seseorang mendapat tugas dari raja, misalnya untuk mewakili raja pada suatu acara penting menyangkut tugas kenegaraan yang mengandung resiko, maka kepada orang tersebut raja meminjamkan sebuah keris pusaka milik sang raja yang bobot spiritualnya sepadan dengan bobot tugas yang diembankan. Dalam kehidupan sehari-hari orang Jawa tradisional, keris juga berfungsi seremonial, menjadi lambang persaudaraan, persahabatan, perkawinan. Sudah menjadi kelaziman dalam hubungan pergaulan dengan orang lain, atau keluarga satu dengan keluarga lain, mereka mengikat tali persahabatan dengan bertukar tanda mata. Salah satu simbol persaudaraan atau persahabatan, dulu biasa ditandai dengan tukar-menukar keris. Bentuk persahabatan yang memakai simbol seperti itu dahulu dianggap sebagai bentuk hubungan erat dengan tingkat etika yang tinggi. Curiga atau keris berwujud wilahan atau bilahan terdapat dalam warangka atau wadahnya. Keris dikenakan di bagian belakang badan diselipkan pada epek dengan arah gagang keris condong ke kanan. Keris mempunyai arti bahwa keris sekaligus warangkanya sebagaimana manusia adalah makhluk yang diciptakan dan penciptanya yaitu Tuhan Yang Maha Kuasa, sehingga dalam budaya Jawa dikenal dengan istilah manunggaling kawula Gusti. Karena diletakkan di bagian belakang tubuh, keris mempunyai arti bahwa dalam menyembah Tuhan Yang Maha Kuasa hendaklah manusia bisa untuk ngungkurake godhaning setan yang senantiasa mengganggu manusia ketika manusia akan bertindak kebaikan.

j.        Jarik Motif Parang Barong

Jarik atau sinjang merupakan kain yang dikenakan untuk menutup tubuh dari pinggang sampai mata kaki. Jarik bermakna aja gampang serik (jangan mudah iri terhadap orang lain). Menanggapi setiap masalah harus hati-hati tidak emosional. Jarik makna yang diperuntukkan kepada kaum wanita untuk laki-laki dinamakan bebed. Bebed merupakan kain jarik yang dikenakan oleh laki-laki seperti halnya pada perempuan. Bebed artinya manusia harus rajin bekerja, berhati-hati terhadap segala hal yang dilakukan dan bekerja sepanjang hari. Wiru jarik atau kain yang dikenakan selalu dengan cara mewiru (merimpel) pinggiran yang vertikal atau sisi saja sedemikian rupa. Wiru atau wiron diperoleh dengan cara melipat-lipat. Ini mengandung pengertian bahwa jarik tidak bisa lepas dari wiru, dimaksudkan kerjakan segala hal jangan sampai keliru agar bisa menumbuhkan suasana yang menyenangkan dan harmonis. Jarik atau bebed ada motif-motif tertentu yang digunakan pada saat dan waktu tertentu. Motif untuk jarik atau bebed pada upacara adat jumenengan di keraton Surakarta dan Yogyakarta adalah motif parang barong maka di Puro Mangkunegaran juga menggunakan motif tersebut namun dengan motif lebih kecil karena status kedudukan Puro Mangkunegaran yang di bawah keraton Surakarta dan Yogyakarta. Besar kecilnya kain motif parang menjadi pedoman utama untuk menentukan derajat kebangsawanan seseorang. Motif parang barong melambangkan kekuasaan, kebesaran, kewibawaan, keluhuran yang tidak terhingga dan tidak terbatas. Kata parang merupakan perubahan dari kata Pereng atau pinggiran suatu tebing yang berbentuk lereng seperti dari dataran tinggi ke dataran rendah yang membentuk garis diagonal. Mengambil dasar gambaran tebing di pesisir pantai selatan pulau Jawa yang diberi nama Paranggupito, Parangkusumo, dan Parangtritis dan sebagainya. Warna putih pada motif barong, warna ini dikaitkan dengan kebenaran, kebersihan. Kesucian yang melambangkan karakter orang yang baik hati yang selalu mengutamakan kebenaran dan kejujuran dalam kehidupannya.

k.      Alas kaki atau Selop

Selop polos semacam sandal yang bagian depannya tertutup biasanya terbuat dari kulit berwarna hitam bagian ujungnya meruncing. Selop merupakan alas kaki raja, dahulu untuk memasuki keraton khususnya ketika diadakan pertemuan dengan raja maka semua yang hadir tidak diperkenankan untuk memakai selop, karena bisa dianggap lancang. Selop hanya khusus dipakai oleh raja dengan warna hitam, namun dengan seiringnya waktu peraturan tersebut sekarang dihapuskan. Selop mempunyai pengertian yaitu canthelna jroning nala (peganglah kuat dalam hatimu), canela sama artinya dengan cripu atau sandal. Canela selalu dikenakan di kaki, artinya dalam menyembah kepada Tuhan Yang Maha Kuasa hendaklah dari lahir sampai batin sujud atau manembah di kaki-Nya dalam hati hanyalah pasrah kepada kekuasaan Tuhan Yang Maha Esa.

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB III

PENUTUP

 

Kesimpulan

Busana raja pada upacara adat jumenengan setiap bagian dari keseluruhan busana memiliki makna simbolis, setiap makna tersebut memberi harapan yang baik bagi pemakainya. Harapan itu disimbolkan dengan benda-benda dan motif kain yang ada pada busana langen harjan tersebut. Misalnya blangkon dengan motif cemukiran. Motif cemukiran pada blangkon dibatasi dengan garis tepi/ pinggiran dengan motif batik modang. Motif cemukiran adalah lidah api yang mengandung makna kesaktian untuk meredam angkara, hal ini mengandung ajaran bahwa sebelum bisa mengalahkan musuh dari luar harus bisa mengalahkan musuh yang datang dari diri sendiri. Ulur atau kalung emas yang hanya dikenakan oleh orang yang bergelar KRT yaitu kemeja putih, rompi warna hitam, atela kerawok yaitu berlubang bagian belakang untuk menempatkan keris, dasi, epek, slepe (ikat pinggang) bermakna supaya orang pemakaiannya menahan hawa nafsu, keris, kain jarik bermotif parang barong yang bermakna kekuasaan, kebesaran, kewibawaan, keluhuran yang tidak terhingga dan tidak terbatas. Warna pada motif barong adalah warna hitam dan putih dalam arti yang baik warna ini melambangkan orang yang mempunyai kepribadian yang kuat, tidak mudah terpengaruh oleh pendapat atau komentar orang lain sehingga dalam melaksanakan kewajibannya akan dilaksanakan dengan baik dengan penuh tanggung jawab. Sedangkan dalam arti yang tidak baik, warna ini melambangkan keangkaramurkaan, keserakahan, kejahatan, kegelapan, dan kesesatan. Warna putih dikaitkan dengan kebenaran, kebersihan, kesucian yang melambangkan karakter orang yang baik hati yang selalu mengutamakan kebenaran dan kejujuran dalam kehidupannya. Secara keseluruhan penampilan busana raja yang megah dan mewahh dalam upacara adat jumenengan juga merupakan jaminan legitimasi kekuasaan kekuasaan dari pemakainya.

 

 

 

 

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

 




Selasa, 24 Juni 2014

SEJARAH KEBANGKITAN NASIONAL DAERAH SULAWESI TENGGARA


BAB I

PENDAHULUAN

 

A.    Latar Belakang

Sulawesi Tenggara sebagai istilah geografis telah dikenal sejak abad XIX. Istilah geografis Sulawesi Tenggara ini tidak meliputi pulau-pulau sekitarnya utamanya pulau-pulau besar di sebelah selatan yaitu Buton, Muna dan Kabaena. Sulawesi Tenggara menjadi istilah politik (pemerintahan) sejak tahun 1951 ketika Afdeeling Buton dan Laiwui dirubah menjadi Daerah Sulawesi Tenggara meliputi pulau-pulau disekitarnya sehingga geografis Sulawesi Tenggara dapat dibedakan antara daratan (Kabupaten Kendari dan Kolaka) dan kepulauan (Kabupaten Buton dan Muna).

B.     Rumusan Masalah

1.      Bagaimana kondisi Sulawesi Tenggara pada akhir abad ke 19 ?

2.      Bagaimana keadaan di daerah Sulawesi Tenggara dari tahun 1900-1928 ?

3.      Bagaimana keadaan di Sulawesi Tenggara dari tahun 1928-1942 ?

C.    Tujuan Penulisan

1.      Untuk mengetahui tentang kondisi Sulawesi Tenggara pada akhir abad ke 19 ?

2.      Untuk mengetahui keadaan di daerah Sulawesi Tenggara dari tahun 1900-1928 ?

3.      Untuk mengetahui tentang keadaan di Sulawesi Tenggara dari tahun 1928-1942 ?

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB II

PEMBAHASAN

 

A.    Sulawesi Tenggara Pada Akhir Abad ke 19

Pemerintahan

1.      Kesultanan Buton

a.       Bentuk Pemerintahan

Buton telah menerima agama Islam pada 948 H (1541 M) dan sejak itu raja-rajanya bergelar Sultan. Pada awal abad XVII Sapati (Perdana Menteri) La Singga telah mengumandangkan Islam menjadi dasar keperintahan dan pemerintahan kerajaan. Sejak itu kealiman dalam ilmu agama menjadi ukuran pengangkatan pejabat-pejabat kerajaan dari Sultan sampai pejabat terendah. Kesultanan Buton mencapai puncak kebesarannya pada jaman Sultan Muh Idrus yang memerintah pada 1824-1851. Dua anaknya berturut-turut memerintah sesudahnya yaitu Sultan Muh Isa (1851-1871) dan Sultan Muh Shalihi (1871-1885). Mereka dari golongan bangsawan Kumbewaha. Perkawinan antar golongan bangsawan sering terjadi sehingga untuk menentukan jenis golongan dilihat dari aliran bapak. Dewan yang mempunyai wewenang mengangkat Sultan adalah Sio Lim Bona yaitu sembilan orang Bonto (Kepala Negeri) dari sembilan limbo. Pada awalnya Kerajaan Buton hanya ada 4 limbo yang kemudian menjadi 9 limbo pada masa pemerintahan Raja Buton III. Sio Limbona ini juga bertugas mengawasi jalannya peraturan kepemerintahan dan mencatat silsilah ketiga golongan Kaumu meneliti gerak-gerik, tingkah laku para bangsawan khususnya dan rakyat pada umumnya. Dalam jalannya pemerintahan, Sultan dibantu oleh sapati, kenepulu, lakina surowolio, lakina baadiya, kapitalau matanayo, kapitalau sukanayo, bonto ogena matanayo, bonto ogena sukanayo. Tugas utama dari sapati adalah menjalankan pemerintahan dan undang-undang kerajaan, jadi sapati itu semacam Perdana Menteri atau Mahapatih.

b.      Wilayah dan Tata Keperintahan

Menurut Ligtvoet wilayah Kesultanan Buton meliputi Pulau Buton, Pulau Muna, Pulau Kabaena, Pulau-pulau kecil sekitar Pulau Buton dan Pulau Muna, pulau-pulau Tukang Besi, Poleang dan Rumbia yang terletak di Jazirah Tenggara Pulau Sulawesi. Wilayah bawahan kesultanan Buton dapat dibedakan atas wilayah inti, Moronene, dan Barata.

-Wilayah Inti

Wilayah inti terbagi atas dua jenis yaitu wilayah Bonto dan wilayah Bobato. Wilayah Bonto yaitu wilayah yang diperintah oleh kaum Walaka yang berjumlah 30 negeri yang disebut Kadie. Sedangkan wilayah Bobato yang berjumlah 40 Kadie adalah pengembangan wilayah dari sembilan negeri yang masing-masing mempunyai raja sendiri-sendiri yang disebut dengan Lakina yang mula-mula menggabung ke dalam Kerajaan Buton.

-Daerah Moronene

Terdiri dari 3 wilayah yaitu pulau Kabaena, Poleang, dan Rumbia yang merupakan daerah yang diperintah langsung secara adat, tetapi tidak langsung dalam keperintahan. Kabena secara tradisional merupakan wilayah dari Sapati. Keadaan ini bersumber dari pengangkatan Sapati yang pertama yang menurut tradisi berasal dari Kabaena. Demikian pula dengan Poleang dan Rumbia yang masing-masing mempunyai kepala pemerintahan, tetapi secara adat keduanya masuk dalam wilayah Bonto yaitu Bontona Wandailolo dan Bontona Somba Marusu.

-Barata

Wilayah Barata adalah wilayah yang dianggap dan diharapkan untuk menjaga kestabilan kerajaan. Barata kesultanan Buton masing-masing mengatur dirinya dengan Dewan Legislatif dan Dewan Pemerintahannya sendiri-sendiri. Pada pertengahan abad XIX semua Barata kecuali Muna sudah merupakan wilayah yang menyatu dengan Buton. Muna dengan berpegang teguh pada tradisi hubungannya dengan Buton sebagai 2 kerajaan bersaudara selalu menolak kedudukan dianggap Barata dari Buton.

c.       Hubungan Dengan Belanda

Perjanjian Buton dengan Belanda sejak jaman VOC (1613) memuat hal-hal pokok sebagai berikut :

-Bantuan pada Belanda jika diperlukan.

-Aturan pelayaran dan perdagangan.

-Persetujuan Belanda jika mengangkat raja baru.

-Kawan/lawan Belanda adalah kawan/lawan Buton.

-Larangan mengadakan hubungan dengan bangsa lain.

-Penerbangan pala/cengkeh di wilayah Buton diganti ruginya.

Pada tahun 1667 Buton telah menandatangani perjanjian dengan VOC dimana Buton diharuskan menebang pohon cengkeh dan pala yang ada dalam kerajaannya dengan imbalan kerugian seratus ringgit setahun. Juga ditetapkan bantuan Belanda kepada Buton berupa mesiu dan peluru. Bantuan kepada Buton dari Belanda ditingkatkan lagi pada tahun 1865.

2.      Kerajaan Konawe-Laiwui

a.       Bentuk pemerintahan

Kerajaan Konawe diawali dengan munculnya tokoh Sangia Ndudu yang bersama To Lahianga. Kerajaan ini terbagi atas 3 kerajaan yang masing-masing dikepalai oleh seorang Mokole (Raja). Kerajaan-kerajaan itu adalah Padangguni, Wawolesea, dan Besilutu. Kemudian bentuk pemerintahan dari Kerajaan Weikola ini tidak diketahui kecuali berita tradidi tentang adanya Wati sebagai pembantu Mokole. Beberapa generasi kemudian muncul pula Sangia Ndudu ketiga yang digelar Anawai Ngguluri. Menjelang pertengahan abad XVI Kerajaan Konawe diperintah oleh Mokole Melamba. Menurut tradisi, Melamba bersaudara dengan Halu Oleo yang kemudian menjadi Sultan Buton I dengan gelar Murhum. Pada pertengahan abad XVII di jaman pemerintahan Tebawo terjadi perubahan struktur pemerintahan. Mulai saat itu dikenalah dalam kehidupan Kerajaan Konawe adanya Siwole Mbatohuu dan Pitu Dula Batu. Pengibaratan kerajaan Konawe sebagai suatu Siwole dapat dilihat adanya pembagian kerajaan ke dalam 4 wilayah pemerintahan atau pemberian semacam otonomi kepada wilayah-wilayah tersebut. Pembagian wilayah Konawe ke dalam Siwole Mbatohuu  dan ditempatkannya para kabinet kerajaan di luar ibukota dengan wilayahnya masing-masing mengancam keutuhan kerajaan Konawe. Tiap-tiap wilayah memupuk dirinya dan melonggarkan hubungan dengan Mokole di Unaaha.

b.      Wilayah dan Tata Keperintahan

Pada sekitar pertengahan abad XVI wilayah Konawe meliputi seluruh jazirah tenggara Sulawesi dan kemudian Moronene menjadi wilayah kerajaan Buton. Walaupun sejak akhir abad XVIII Mokole Konawe sudah tidak ada tetapi kesatuan adat Kerajaan Konawe masih berdiri dalam diri Sulemandara. Wilayah kerajaan Konawe pada pertengahan abad XVII terdiri atas 4 wilayah Siwole Mbatohuu, 7 wilayah Pitu Dula Batu, 1 wilayah Inea Sinumodan 1 wilayah Andoolo (Konawe Selatan). Sesudah kerajaan Konawe runtuh dan tiap-tiap wilayah mengatur dirinya masing-masing maka ada beberapa wilayah yang tergabung ke dalam wilayah lain dan ada pula yang menonjol. Ranomeete menonjol malah mendirikan kerajaan sendiri dengan cita-cita mempersatukan kembali bekas kerajaan Konawe ke dalam Kerajaan Laiwui. Rintangan besar yang dihadapi Laiwui untuk mempersatukan bekas Konawe adalah anggapan bangsawan Konawe bahwa Laiwui adalah Kerajaan yang cikal bakalnya orang asing (Bugis).

c.       Hubungan Dengan Belanda

Bagi VOC rupanya Konawe dianggap tidak penting karena pusat kerajaannya terletak di pedalaman. Tetapi ada berita tradisi yang menyatakan bahwa Konawe memberikan bantuan pada Aru Palaka dalam Perang Gowa dengan mengirimkan pasukan-pasukan dibawah komando Kapitalau Sambara yang bernama Haribau. Perjanjian Pajang yang ditandatangani La Mangu pada 13 April 1858 merupakan perjanjian pajang yang pertama ditandatangani oleh raja Sulawesi Selatan dan Tenggara. Perjanjian-perjanjian dengan Belanda yang dibuat oleh La Mangu dan Sao-Sao dengan Belanda hanya mengikat Laiwui karena wilayah lain dari bekas Konawe tidak mengakui mereka sebagai raja. Sao-sao pada awal abad XX berusaha menghubungi pemimpin bekas wilayah Konawe tetapi ia tidak berhasil mempersatukan wilayah Konawe menjadi Laiwui. Dan usaha Sao-Sao ini didukung oleh Belanda dan akhirnya Haji Taataa dalam usahanya membantu Sao-Sao mengadakan persetujuan dengan Sulemandara dan kepala-kepala wilayah bekas kerajaan Konawe. Dan pada akhirnya usaha tersebut bertujuan untuk mempersatukan wilayah bekas Konawe di bawah Sao-Sao.

3.      Kerajaan Mekongga

a.       Bentuk pemerintahan

Raja Mekongga yang pertama adalah La Rupalangi. Dalam hal perkembangan wilayah Kerajaan Mekongga maka struktur pemerintahan mengalami perkembangan juga. Diadakan jabatan-jabatan Sara Wonua yaitu Dewan Kabinet kerajaan yang terdiri dari Kapita sebagai menteri keamanan dan sekaligus wakil raja, sapati yang menangani pemerintahan dan kesejahteraan, serta pabitara yang mengurus masalah adat-istiadat. Dewan Agung Mekongga yang merupakan lembaga legislatif adalah gabungan dari kabinet dengan semua kepala wilayah bawahan.

b.      Wilayah dan Tata Pemerintahan

Pada awalnya, Kerajaan Mekongga hanya meliputi 7 kampung di sekitar Kolaka yang masing-masing dikepalai oleh seorang Toono Motuo. Perkembangan wilayah Mekongga tidak berlangsung melalui peperangan tetapi melalui perkawinan. Dalam perkawinan orang Tolaki dikenal adanya tiari yaitu pemberian hadian kepada pengantin dari pihak orang tua sebagai saluran pembagian warisan.

c.       Hubungan Dengan Belanda

Sampai tahun 1906 tidak ada berita tentang hubungan langsung antara Belanda dengan Mekongga. Hubungan Mekongga dengan Belanda oleh Belanda dianggap tercakup dalam hubungannya dengan Luwu. Pada abad ke 19 Luwu 2 kali menandatangani Perjanjian Panjang dengan Belanda :

-16 September 1861 oleh Raja Luwu Abd Karier Tobarua.

-15 September 1887 oleh Datu Luwu Iskandar Opu Larompaong.

Perjanjian ini seirama denngan perjanjian Buton-Belanda 1873, tetapi secara riil Belanda belum mencampuri pemerintahan dalam kerajaan Luwu.

Sosial Budaya

1.      Pendidikan

Sampai akhir abad ke 19, kerajaan-kerajaan Sulawesi Tenggara merupakan kerajaan yang berdaulat penuh ke dalam. Perbatasan dari pihak Belanda hanya terbatas pada adanya persetujuan Belanda dalam pengangkatan raja baru jika terjadi pergantian raja. Pendidikan masih berlangsung secara tradisional dengan pengembangan yang timbul di pusat-pusat kerajaan dengan meningkatkan keterampilan membaca dan menulis. Di Buton sejak awal abad ke 18 terdapat perpustakaan yang berfungsi sebagai pusat pendidikan khususnya pendidikan agama. Disana diajarkan ilmu-ilmu agama. Pada jaman Sultan Muh Idrus, bahasa Arab merupakan bahasa pengantar atau bahasa resmi khusus dalam lingkungan keraton Buton. Puncak dari hasil pendidikan ini terdapat dalam diri Sultan Muh Idrus yang dapat mengarang beberapa buku dalam bentuk puisi yang beraliran keagamaan, kepatriotan, politik dan filsafat. Sultan Muh Idrus dapat mengarang dalam bahasa Arab. Kemampuan ini diperolehnya melalui pendidikan dalam keraton Buton. Pendidikan pada masa-masa sebelum abad ke 20 menyangkut kebutuhan berbagai ilmu. Termasuk didalamnya ilmu kemasyarakatan, filsafat, politik, hukum, ekonomi, bahasa dan lain-lain. jadi tidak hanya sekedar membaca Al Quran. Dan sembahyang.

2.      Seni-Budaya

Kehidupan seni budaya sampai pada akhir abad ke 19 dapat dikatakan merupakan lanjutan dari kehidupan seni budaya pada masa-masa sebelumnya. Tarian-tarian rakyat yang diadakan pada berbagai peristiwa yang diadakan menurut tradisi masing-masing tetap berlangsung seperti masa sebelumnya. Kesenian pada masa-masa bukan hanya sebagai hiburan tetapi yang pokok merupakan sarana ekspresi kelompok masyarakat dalam menghayati peristiwa tertentu yang diharuskan oleh tradisinya masing-masing. Penghayatan agama Islam yang membawa pengaruh besar akan kehidupan sosial tentunya membentuk akan situasi dan selera dalam menghayati seni budaya yang diwarisi secara tradisional. Namun di Buton timbul suatu pengembangan pesat dalam bidang seni sastera yaitu munculnya sastra tulis. Seni sastra Kabanti seperti pantun yang sebelumnya diubah secara lisan menjelang pertengahan abad ke 19 telah diubah secara tertulis.

3.      Alam Pikiran dan Kepercayaan

Agama Islam masuk ke Sulawesi Tenggara sebelum tahun 1550 dan sejak awal abad ke 17 Islam merupakan sendi kerajaan Buton. Sejak itu kehidupan sosial, politik dan budaya tersusun berlandaskan ajaran Islam. Pemantapan Islam dalam kehidupan sosial dan pemerintahan serta penyebarannya diawali dari istana, seperti masuknya agama Islam juga diawali dari istana. Beberapa raja dikenal sebagai penyebaran dakwah Islamiyah dan membangun masjid-masjid dalam kerajaannya. Pendidikan keagamaan sampai akhir abad ke 19 merupakan suatu kebutuhan masyarakat yang utama. Kealiman dalam ilmu keagamaan dalam segala aspek dan prospeknya menjadi idaman dari setiap keluarga. Pengetahuan dalam ilmu agama Islam menentukan status sosial dan politik dari setiap orang. Menjelang akhir abad ke 19 agama Islam dengan pusat pancaran dari istana telah dapat menjangkau sampai pelosok-pelosok Sulawesi Tenggara dengan pengertian bahwa semakin jauh dari pusat maka semakin lemah daya pencarannya. Semua kerajaan-kerajaan Sulawesi Tenggara adalah kerajaan yang diperintah dengan landasan Islam, Islam merupakan agama kerajaan dengan perwujudan maksimal pada Buton yang dinyatakan sebagai suatu Sultanat atau Kesultanan.

Kehidupan Ekonomi

Secara geografis Sulawesi Tenggara dapat dibagi atas 2 wilayah yaitu wilayah daratan dan wilayah kepulauan. Daerah Sulawesi Tenggara dihuni oleh orang Tolaki dan orang Moronene di ujung bagian barat daya (Poleang dan Rumbia) sedangkan kepulauan dihuni oleh beberapa suku. Yang terbesar adalah suku Muna dan sebagian pulau Buton. Kemudian suku Buton yang sebenarnya terdiri dari beberapa suku-suku termasuk penduduk Wakatobi sedangkan penduduk pulau Kabaena termasuk suku Moronene. Penduduk bagian daratan Sulawesi Tenggara penduduknya hidup dari pertanian, sedangkan daerah kepulauan penduduknya hidup dari bertani, nelayan, dan berdagang. Makanan pokok orang Tolaki adalah beras dan sagu. Orang Moronene termasuk penduduk pulau Kabaena hidup dengan makanan pokok beras. Orang Muna dan Buton makanan pokoknya adalah ubi-ubian dan jagung. Tradisi Muna mengungkapkan bahwa jagung dikenal disana sejak abad ke 16 melalui Ternate. Sejak itu jagung merupakan makanan pokok disamping ubi-ubian yang menggantikan kedudukan Wute sau yang sebelumnya dikenal pula sebagai makanan pokok. Ubi kayu jenis beracun juga merupakan makanan pokok di Buton dan Muna. Di sementara tempat di Buton dan Muna pada abad ke 19 juga ditanam padi. Kebutuhan beras untuk kepulauan Buton dan Muna rupanya untuk golongan elite dan para pendatang yang menetap disana didatangkan dari Makassar yaitu beras putih dan dari Kendari dari Moramo didatangkan beras merah dalam bentuk gabah. Tanaman pangan yang lain adalah pisang, kelapa dan khusus di Buton juga ditanam jeruk cina. Di Muna banyak ditanam kopi yang hasilnya dapat diperdagangkan ke luar. Penduduk pantai utamanya di pulau-pulau hidup pula sebagai nelayan. Kehidupan nelayan ini dikerjakan disamping mengolah tanah untuk kebutuhan primernya. Nelayan tidak saja menangkap ikan tetapi usahanya meliputi pengumpulan teripang, penangkapan penyu dan pencarian rumput laut malah penyelaman mutiara dan hasil-hasil laut lainnya. Sampai pada akhir abad ke 19 Sulawesi Tenggara mengeluarkan hasil-hasil seperti teripang, penyu, agar-agar, kopi, lilin, mutiara, kulit dan tanduk kerbau, ekor ikan, kapas, bahan-bahan pewarna dari akar dan kulit pohon soga.

 

 

 

 

B.     Keadaan di Daerah Sulawesi Tenggara Dari Tahun 1900-1928

a.      Pengaruh Politik Kolonial Belanda dan Desentralisasi di Sulawesi Tenggara

1.      Masuknya Belanda

Kekuasaan pemerintah Hindia Belanda tidak langsung memasuki wilayah Sulawesi Tenggara sebelum tahun 1906. Perjanjian-perjanjian panjang sesudah pertengahan abad ke 19 yang ditandatangani oleh Sultan Buton pada tahun 1858 dan 1885 dan Datu Luwu pada tahun 1861 dan 1887, walaupun berisi pengakuan bahwa wilayahnya merupakan wilayah Hindia Belanda, tetapi kenyataannya kerajaan itu masih berdaulat dalam mengurus pemerintahannya tanpa campur tangan dari Pemerintah Belanda. Pada saat itu Belanda hendak memaksakan penempatan aparat pemerintahannya di Buton tetapi ditolak dengan tegas oleh Sultan Muh Umar. Justru beliau mempersiapkan diri untuk berperang melawan Belanda dengan mendirikan pusat-pusat pertahanan di beberapa tampat dalam kerajaannya. Ranomeeto sejak awal abad ke 19 telah menyatakan diri sebagai suatu kerajaan yang berdaulat dengan nama Liwui dan mengadakan hubungan luar antaranya dengan Belanda. Pada tanggal 16 April 1906, Raja Laiwui menandatangani Lang Contract yang juga pernah dilakukannya pada tahun 1885. Sejak itu maka di Kendari ditempatkan seorang Gezaghebber. Namun demikian kekuasaan Belanda belum dapat mencapai daerah-daerah di luar kekuasaan Sao-Sao. Mereka menyatakan bahwa kedatangan Belanda merupakan ancaman fatal bagi pengaruh politik meraka dan akan merusak tata kehidupan tradisional mereka secara turun-temurun. Datu Luwu yang juga membawahi Mekongga ditaklukkan Belanda pada tahun 1905 dan terpaksa menandatangani perjanjian pada Belanda. Di bagian utara timbul perlawanan-perlawanan sengit terhadap Belanda yang dipimpin oleh H Hasan dan Tejabi. Daerah Moronene yang merupakan daerah pengaruh kesultanan Buton dimasuki Belanda pada tahun 1910. Mokole Poleang bersama pengikutnya menentang kedatangan Belanda di daerahnya.

2.      Pemerintah Belanda

Setelah Belanda berhasil membuat raja-raja Sulawesi Tenggara tunduk kepadanya, maka Belanda berusaha mengamankan seluruh wilayah golongan-golongan bangsawan atas kepala-kepala wilayah setempat yang menunjukkan sikap menentang. Sampai pada 1910 kerajaan Buton, Muna dan Mekongga telah dapat diamankan dan dikuasai sepenuhnya, sedangkan Laiwui berlanjut sampai pada tahun 1917. Hal ini disebabkan karena sebelumnya kerajaan ini terbagi atas wilayah bekas kerajaan Konawe yang masing-masingnya mengurus dirinya sendiri. Kerajaan Buton dan Laiwui dalam struktur Pemerintahan Belanda digabung menjadi Afdeling Buton, Onderafdeling Muna, dan Onderafdeling Kendari. Sampai tahun 1928 Laiwui masih dibawah pemerintahan militer Belanda. Demikian pula Muna dan Kolaka. Dalam pembagian Onderafdeling ini kelihatan adanya suatu keunikan yaitu Onderafdeling Muna wilayahnya lebih luas dari Kerajaan Muna. Kerajaan Muna teerbagi atas 4 distrik tetapi Onderafdeling Muna terdiri dari 7 distrik yaitu distrik kerajaan Muna ditambah Tiworo, Wakarumba dan Kalingsusu dari Kerajaan Buton. Belanda mulai menjalankan pajak pada tahun 1908 di Sulawesi Tenggara setelah pencatatan jiwa diadakan sebelumnya dengan memberikan kartu penduduk. Pajak ini berupa uang yang harus dibayar oleh setiap wajib pajak tiap tahun. Pajak tradisional yang di Buton dikenal sebagai weti yang merupakan pajak wilayah yang umumnya terdiri dari hasil bumi. Lalu ditambah dengan kewajiban kerja rodi, pajak ini sangat berat dirasakan oleh rakyat.  Pelaksanaan pajak dianggap oleh rakyat sebagai tindakan yang melampaui batas dari Belanda. Di Mekongga dan Liwui banyak rakyat yang menyingkir ke gunung-gunung berladang di tempat-tempat terpencil karena masalah pajak. Sistem pemerintahan Belanda yang mengubah struktur bawahan dari setiap kerajaan merupakan pukulan keras terhadap kemasyarakatan tradisional. Jabatan bawahan kerajaan tradisional mengenai elite masing-masing, dimana dalam sistem Belanda pejabat-pejabat ini diangkat oleh Belanda dan diberi gaji pula. Terkadang pengangkatan kepala distrik tidak memenuhi  selera rakyat banyak karena tidak sesuai dengan perasaan tradisionalnya khususnya dalam derajat elitenya. Dengan pembentukan wilayah distrik dan kampung-kampung banyak diantara bangsawan wilayah kehilangan fungsi dan pengaruhnya. Sikap perlawanan dan tidak suka akan Belanda ini bukan karena pajak dan merusak struktur masyarakat tradisional tetapi juga turut didasari atas perasaan keagamaan dimana Belanda dianggap orang kafir. Masyarakat menerimanya sebagai suatu kenyataan yang kemudian merosotkan sendi-sendi dan kaidah-kaidah masyarakat tradisional secara drastis. Ditambah dengan beban pajak yang semakin berat menjadikan kehidupan lahir batin semakin merosot.

3.      Kehidupan Sosial Ekonomi

Sejak tahun 1906 Keperintahan kerajaan-kerajaan Sulawesi Tenggara mulai langsung dicampuri oleh Belanda. Pejabat sipil dan militer mulai ditempatkan secara permanen. Pajak ditetapkan ditambah kewajiban bekerja beberapa hari lamanya untuk kebutuhan pemerintahan. Beberapa bangsawan daerah bawahan yang wilayahnya dirombak ke dalam distrik kehilangan kedudukannya sehingga warisan kebesaran tradisionalnya berangsur-angsur hilang. Jika sebelumnya menerima pajak tradisional dan menyuruh kerja, maka mereka harus membayar pajak dan disuruh bekerja. Tindakan Belanda lainnya adalah larangan memiliki senjata api padahal banyak bangsawan-bangsawan yang pernah memilikinya termasuk meriam. Selain itu Belanda dengan keras melarang penjualan budak dan melarang mempekerjakan orang tanpa diberi gaji, sedangkan budak dan pengabdian merupakan ciri khusus dalam masyarakat tradisional. Bea masuk dan ke luar barang-barang dagangan langsung diurus dan diawasi oleh pemerintah Belanda. Tindakan-tindakan Belanda ini mempunyai pengaruh besar atas kehidupan masyarakat tradisional yang telah teradat dan diwarisi turun-temurun. Timbul ras antipati dari masyarakat yang terkadang menjurus pada terjadinya perlawanan terbuka yang dipertegas dengan anggapan bahwa Belanda adalah kafir. Politik desentralisasi Belanda berhasil mencapai tujuannya yaitu melenyapkan struktur, ambisi dan aspirasi masyarakat tradisional walaupun kerajaan tetap dipertahankan untuk diperalat. Mata pencaharian penduduk hampir tidak mengalami perubahan. Makanan pokok rakyat juga tidak mengalami variasi yaitu beras dan sagu. Hasil-hasil utama yang diekspor adalah kulit/ tanduk kerbau, mutiara, kulit kayu bakau dan akar bangkudu. Dalam perdagangan, sistem barter masih sering dilakukan. Barang-barang yang menjadi penukar dari hasil-hasil rakyat selain uang adalah kain, garam, dan alat-alat rumah tangga. Tahun 1911 Pemerintah Belanda menganjurkan penanaman jati. Anjuran ini banyak dilaksanakan dan bibitnya disamping bibit yang telah ada di Muna juga didatangkan dari Jawa. Pada kira-kira tahun 1925 dibukalah perkebunan jati.

b.      Kegiatan Masyarakat Yang Dapat Dikatakan Relevan Dengan Embrio Proses Kebangkitan Nasional di Daerah

Kegiatan masyarakat yang dapat dikatakan relevan dengan ataupun yang merupakan embrio proses jaman kebangkitan nasional di daerah tidak dapat ditelusuri jika yang dimaksud adalah yang semacamnya timbul di Jawa sampai tahun 1928. Sampai menjelang tahun 1920, terkadang Belanda masih harus mengadakan gerakan-gerakan pasifikasi. Pemerintahan militer di Muna dan Laiwui mulai berakhir pada tahun 1927. Perlawanan yang dihadapi Belanda antara tahun 1906-1928 adalah perlawanan mempertahankan diri secara tradisional yaitu menentang masuknya penjajah. Keadaan ini yang mewarnai sikap Belanda walaupun zaman itu terkenal dengan adanya politik etis. Yang terjadi di Sulawesi Tenggara adalah politik kolot Belanda yaitu politik menguasai dengan kekuatan senjata. Pelaksanaan politik desentralisasi tidak menonjol etisnya tetapi sebaliknya. Akibat bagi rakyat adalah hancurnya secara bertahap tetapi sendi-sendi masyarakat tradisional, beratnya beban kehidupan karena adanya pajak dan kerja wajib dan munculnya ikatan-ikatan peraturan baru yang tidak dikenal sebelumnya yang mengekang kebebasan dalam usaha memenuhi kebutuhan hidup. Usaha pendidikan yang dijalankan Belanda sesudah tahun 1910 yang berupa pendirian sekolah-sekolah di beberapa tempat belum dapat menimbulkan suatu elite baru pada tahun 1928 untuk mampu mengendali apalagi mendirikan usaha-usaha organisasi. Pendidikan tradisional dengan kaitan agama lebih dirasakan kebutuhannya dari pendidikan sekolah yang diadakan Belanda. Suatu berita dari Muna mengungkapkan adanya kegiatan atau Laode Mizani yang mendakwahkan pelaksanaan syariat Islam sampai ke pelosok-pelosok yang merupakan aliran Ahlusunnahwaljamaah. Kegiatan Laode Mizani ini timbul sesudah tahun 1920 dimana Belanda secara total telah dapat menguasai Sulawesi Tenggara. Masa 1920-1930 di Sulawesi Tenggara adalah masa transisi dimana terjadi transformasi sosial yang menjurus kepada frustasi karena hancurnya sendi-sendi masyarakat tradisional dalam menuju suatu sistem masyarakat baru diatas reruntuhan itu. Sebaliknya gerakan Ahlusunnahwaljamaah dari Laode Mizani ini dapat dilihat sebagai suatu embrio gerakan Kebangkitan Nasional pada saat itu dalam ukuran Sulawesi Tenggara.

c.       Interaksi di Daerah

1.      Politik

Sampai dengan tahun 1928 tidak ada berita tentang adanya suatu partai politik di Sulawesi Tenggara. Gerakan Aro Kamboi (Laode Mizani) yaitu aliran Ahlusunnahwaljamaah di Muna dapat diduga sebagai akibat dari pengaruh PSSI tahun-tahun sebelumnya. Tidak jelas apakah Aro Kamboi pernah keluar ataukah pengaruh datang dari luar Muna melalui orang-orang tertentu. Yang jelas bahwa seorang yang membantunya berasal dari Sulawesi Selatan yang bernama Manamang. Gerakan Aro Kamboi pada saat itu yang tersirat dalam kalimat “Belanda akan pergi dan suatu saat Negeri kita akan kita perintah sendiri.” Hal ini mengakibatkan Aro Kamboi pernah ditangkap Belanda.

2.      Agama

Agama Islam memasuki Sulawesi Tenggara pada tahun 948 H/1541M. Ulama yang mula-mula membawa Islam yaitu Syeh Abd Wahid tiba di Buton bersama-sama dengan seorang yang dikenal sebagai Imam Pase. Syeh abd Wahid berhasil mengislamkan raja Buton ke VI yang kemudian menjadi Sultan Buton I dan dikenal dengan nama Murhum. Pada awal abad ke17 di zaman pemerintahan Sultan Buton IV, diundangkan Martabat Tujuh dari aliran Tarekat Wujudiah sebagai dasar keperintahan dan pemerintahan Kesultanan Buton. Selanjutnya Martabat Tujuh menjadi dasar kehidupan sosial budaya dan politik. Derajat kelimaan dalam ilmu agama menentukan atau menjadi dasar pertimbangan utama dalam pengangkatan pejabat-pejabat kerajaan. Proses Islamisasi di Sulawesi Tenggara bermula dari istana raja-raja setempat dan secara bertahap menerobos sampai ke pelosok-pelosok. Pada awal abad ke 20, Islam merupakan agama yang dianut oleh seluruh penduduk Sulawesi Tenggara kecuali Morpnen. Sedangkan agama Kristen masuk ke Sulawesi Tenggara bersamaan dengan datangnya tentara dan pegawai pemerintah Belanda. Di Raha selain adanya penganut Kristen Protestan ada pula penganut Kristen Roma Katolik. Nederlandsche Zending Vereniging adalah satu-satunya organisasi gereja yang diluaskan menyebarkan agama Kristen di Sulawesi Tenggara yang wilayahnya terbatas pada daratan jazirah Sulawesi Tenggara. Gereja Kristen yang ada di tiap ibukota Onderafdeling hanya dikhususkan bagi pegawai dan tentara dan tidak mempunyai fungsi penyebaran. Misi Katolik di Muna pada tahun 1930 mendapatkan izin penyebaran diluar kota Raha. Agama Islam yang berkembang di daerah Sulawesi Tenggara sejak pertengahan abad ke 16 telah berhasil menempah struktur sosial, budaya dan politik ke dalam bentuk yang dihayati sebagai kebudayaan. Namun sisa-sisa kebudayaan sebelum Islam masih dapat dilihat dalam beberapa bentuk. Kecuali Buton yang menggelar rajanya sebagai Sultan daerah-daerah lain tetap memakai gelar sebagai Manreramantera dalam upacara-upacara yang berasal dari pra Islam melalui modifikasi. Di Buton dan Muna terutama di pedalaman upacara-upacara panen masih dilaksanakan di tempat-tempat tertentu yang dianggap keramat dan tentunya dengan mantera-mantera yang telah diwarnai baru karena pengaruh Islam. Dapat disimpulkan bahwa baik Islam maupun Kristen memasuki Sulawesi Tenggara dengan menyerap aspek-aspek budaya setempat, dengan kata lain bahwa kedua agama ini mewarnai kebudayaan asli masyarakat. Justru penganut Kristen yang berasal dari keluarga Islam sebelumnya, masih tetap mempertahankan sikap dan nilai sosial pra Kristen yang sedikit banyaknya sangat dipengaruhi oleh sikap dan nilai sosial Islam sampai pada larangan yang bersumber dari Islam itu masih ada yang dipantangkannya walaupun mereka telah memeluk agama Kristen. Yang berpengaruh kuat dalam hal ini adalah hubungan kekerabatan yang tetap dipelihara walaupun dalam kenyataannya mereka telah berbeda keyakinan.

3.      Pendidikan

Pendidikan sebelum tahun 1906 merupakan pendidikan tradisional yang dibagi atas pendodokan keterampilan di lapangan dan pendidikan yang berlandaskan ilmu agama yang diawali dengan pengajian Al Quran kemudian melebar ke ilmu kemasyarakatan, politik, ekonomi, filsafat, dan disertai ilmu bela diri. Di Buton terdapat suatu kekhususan dengan diajarkannya Bahasa Indonesia dengan buku pegangan yang disiapkan. Selain itu juga dipelajari bahasa dan tulisan Bugis/Makassar. Sekolah yang pertama didirikan pemerintah Belanda adalah Sekolah Anak Bumi Putra di Bau-Bau pada tahun 1908. Menyusul Raha pada tahun 1910, Kendari 1916 dan di Kolaka Landshap school didirikan pada tahun 1918. Pada tahun 1918/1919 Zending yang berpusat di Mowewe mulai mendirikan sekolah-sekolah. Sekolah yang pertama didirikan adalah di Rate-Rate dan kemudian Mowewe pada tahun 1920. Usaha Zending dalam bidang pendidikan di pedalaman sebenarnya tidak terlalu disukai oleh Pemerintah Belanda karena dapat membawa pengaruh kepada masyarakat sehingga ketentraman kurang terjamin. Kurang terjaminnya ketentraman ini disebabkan adanya ciri tidak menerima kegiatan Zending oleh masyarakat Islam apalagi Zending diidentikkan sebagai Belanda. Ketidaksenangan Belanda akan usaha Zending membuka sekolah-sekolah di pedalaman dianggap sebagai menanam bibit yang dapat berbahaya dikemudian hari dengan melihat usaha-usaha dari kaum pergerakan di Jawa pada waktu itu yang umumnya terdiri dari kaum terpelajar. Dari golongan Islam sampai tahun 1928 belum ada usaha mendirikan sekolah karena pada saat itu belum ada organisasi Islam di Sulawesi Tenggara.

4.      Seni Budaya

Kedatangan Belanda pada tahun 1906 di Sulawesi Tenggara yang diikuti dengan peraturan pemerintahannya menggoncangkan sendi-sendi masyarakat tradisional yang terjadinya suatu proses transformasi sosial yang drastis. Masa 1906-1918 merupakan masa pasifikasi karena kehadiran dan tata cara pemerintahan dan penguasaan Belanda mendapat reaksi yang cukup keras. Masa itu adalah masa politik etis Belanda sehingga tindakan Belanda di Sulawesi Tenggara merupakan tindakan dua muka yang sebenarnya berlawanan yaitu tindakan kolonial dan tindakan etis. Pada zaman itu pemerintahan Belanda mendirikan sekolah-sekolah dan menindas kelompok-kelompok yang menentang kehadirannya dan tindakannya. Masa 1918-1928 adalah masa dimana rakyat harus menyesuaikan diri dengan keadaan baru sehingga terjadi suatu proses transformasi sosial yaitu hilangnya sendi-sendi masyarakat tradisional menuju masyarakat baru. Masa ini tidak memungkinkan adanya kreasi-kreasi baru di bidang seni budaya. Ahli-ahli seni budaya tradisional akan hilang fungsi dan kedudukan sosialnya dimana ahli-ahli baru belum dapat diterima begitu saja kemunculannya. Di zaman inilah banyak materi-materi seni budaya Sulawesi Tenggara mulai ditinggalkan kemudian dilupakan sama sekali. Para ahli seni budaya kemudian hilang satu persatu. Golongan muda yang muncul kemudian hampir tidak memperhatikan warisan seni budayanya karena masyarakatnya telah berganti.

5.      Pers

Di Sulawesi Tenggara tidak pernah diterbitkan suatu media pers. Tetapi menjelang tahun 1928 pers dari lain daerah telah dapat mencapai Sulawesi Tenggara walaupun pembacanya hanya terbatas pada aparat pemerintah seperti pegawai dan guru.

 

C.    Keadaan Di Sulawesi Tenggara Dari Tahun 1928-1942

a.       Pengaruh Politik Pemerintah Hindia Belanda

Kedatangan Belanda di Sulawesi Tenggara pada tahun 1906 disusul dengan tindakan-tindakan drastis dalam mengatur pemerintahannya. Di Buton sistem pemerintahan kerajaan tetap dipertahankan di tingkat pusat dimana tingkat bawahan dibentuk kembali menjadi bagian-bagian yang disebut distrik. Jabatan yang menyangkut kemiliteran kerajaan dihapuskan demikian pula jabatan yang mengurusi ekonomi dihapuskan karena keduanya langsung ditangani Belanda. Dengan memperalat raja-raja setempat dan pembagian wilayah bawahan ke dalam struktur baru yang tidak dikenal sebelumnya, Belanda menjelang tahun 1930 berhasil merombak sistem masyarakat tradisional walaupun mendapat tantangan-tantangan sporadis yang dengan mudah dapat dipadamkan. Sisa-sisa sistem masa lampau yang ada hanya terbatas pada lingkungan istana kerajaan. Dalam struktur pemerintahan Belanda, Sulawesi Tenggara pada mulanya tergabung dalam Bestuur Afdeling Oost Celebes (Sulawesi Timur) yang meliputi wilayah sampai dengan Luwuk Banggai. Pegawai-pegawai karajaan menjadi pegawai pemerintah. Pembentukan sistem pemerintahan Belanda dan pembukaan sekolah-sekolah ditambah dengan petugas-petugas keamanan menambah banyaknya pegawai pemerintah. Pengangkatan pegawai setempat ini dapat diperkirakan jumlahnya mengingat pembukaan sekolah baru dilaksanakan sekitar tahun 1910. Golongan pegawai termasuk pegawai kerajaan menjadi elite masyarakat yang sangat menonjol kira-kira tahun 1930. Masyarakat yang baru saja kehilangan sendi-sendi tradisionalnya, pada sekitar tahun 1930 mulai hidup kembali dengan aspirasi dan prospek baru. Mereka menyadari bahwa aspirasi-aspirasi itu hanya dapat dicapai melalui pendidikan. Pegawai-pegawai yang didatangkan dari daerah lain membawa pengaruh tersendiri yang mendorong kepenghayatan masyarakat modern. Melalui mereka pula ide-ide baru dalam politik, agama dan sosial budaya mulai dikenal dan mempengaruhi. Pembukaan jalan ke pelosok-pelosok, pelayaran yang ramai dan tetap membawa perkembangan di bidang ekonomi. Perdagangan hasil hutan dan hasil laut, pembukaan onderneming, pembukaan tambang menjadikan Sulawesi Tenggara lebih mantap dalam pengelolaan dan pengusahaan bidang ekonomi. Perdagangan antar pulau yang dilakukan oleh pelayar-pelayar setempat dan yang dari luar daerah semakin ramai. Pada tahun 1930 hampir tidak dikenal lagi sistem barter dalam perdagangan. Peredaran uang telah dikenal sampai ke pelosok-pelosok. Pada tahun 1920 perdagangan dengan Moronene masih dilakukan secara barter. Dan pada sekitar akhir 1924 pengusaha Jepang sudah ada yang menetap di Buton.

b.      Depresi Ekonomi 1930

Pemerintah sipil Belanda dimantapkan pada tahun 1927/1928 sesudah dirasakannya adanya kestabilan di Sulawesi Tenggara. Belanda telah berhasil melaksanakan transformasi sosial setelah masa pasifikasi dilaluinya dalam jangka waktu relatif pendek. Keamanan dan sikap masyarakat yang menunjang memungkinkan pertumbuhan ekonomi yang meyakinkan. Sarana perhubungan yang mantap, pembukaan onderneming yang telah mulai berproduksi pada tahun 1925, pengeluaran hasil-hasil hutan, pengolahan kayu, pembukaan tambang sangat menggairahkan Belanda dalam mengelola ekonomi Sulawesi Tenggara. Dalam keadaan yang penuh harapan ini timbullah depresi ekonomi dunia yang gelombangnya juga mencapai Sulawesi Tenggara. Pada tahun 1930 rakyat Sulawesi Tenggara sebagian lepas dari sistem barter. Pengenalan akan kehidupan dengan sarana tukar yang berupa uang ini tentunya membawa pengaruh akan sikap hidup masyarakat. Akibat dari depresi ekonomi setelah macetnya perdagangan yang berarti rakyat tidak dapat menjual hasil hutan, hasil bumi dan ternaknya. Dengan kata lain pada saat itu rakyat sangat sulit untuk memiliki uang. Kebutuhan pokok mungkin dapat dipenuhinya tetapi kebutuhan sekunder yang harus dibeli tidak dapat diperolehnya karena tidak mempunyai uang. Yang sangat berat dirasakan oleh rakyat adalah pembayaran pajak, karena tidak snaggup membayar pajak dan takut pada tindakan pemerintah maka banyak rakyat yang meninggalkan kampungya dan mengungsi ke pedalaman dan berladang di gunung-gunung. Keadaan ekonomi yang membuat rakyat tidak dapat mencari uang untuk membayar pajak. Tindakan Belanda pada saat itu yang merupakan akibat depresi ekonomi adalah adanya beberapa orang yang ditangkap dan ada yang sampai dibuang dengan dalih tidak mau membayar pajak. Mereka yang ditangkap dan dibuang adalah mereka yang dianggap mempelopori dan menghasut rakyat untuk tidak membayar pajak.

c.       Pendidikan

Pada tahun 1930 semua distrik dan onderdistrik telah mempunyai sekolah. Sekolah-sekolah ini kebanyakan berkelas 3 kecuali di Bau-Bau (Buton), Raha (Muna), Kendari dan Wawotobi (Kendari) dan Kolaka yang samoai kelas 5. Pada tahun 1938, Zending telah berhasil membuka 16 sekolah (SD) dan sebuah HIS di Kendari. Pada tahun 1942 jumlah SD Zending 27, satu HIS (Kendari) dan 3 sekolah lanjutan. Missi Katolik di Muna pada tahun 1932 membuka pula sekolah di pedalaman Muna disamping sekolah yang telah ada di Raha. Pada saat itu Muhammadiyah membuka pula 2 sekolah agama di Muna. Di Kolaka Utara pada tahun 1937 Pemuda Muslimin Indonesia berhasil mendirikan Sekolah Arab. Sekolah-sekolah Muhammadiyah di Muna ditutup pada tahun 1935 karena gurunya La Kare ditangkap Belanda dan diasingkan bersama-sama dengan seorang tokoh Muhammadiyah lainnya.

d.      Keadaan Di Sulawesi Tenggara Menjelang Keruntuhan Pemerintah Hindia Belanda

1.      Sikap Pemerintah Hindia Belanda Terhadap Rakyat

Baru saja Belanda berhasil secara keseluruhan mentralisir gerakan-gerakan organisasi yang mempunyai aspirasi politik di Sulawesi Tenggara meletuslah Perang Dunia II. Dalam keadaan ini Belanda merasa ragu akan sikap rakyat yang baru saja berhasil dinetralisir aspirasi politiknya. Belanda berkesimpulan bahwa pada dasarnya rakyat Sulawesi Tenggara tidak menyukai kehadirannya. Penjajahan Belanda atas Sulawesi Tenggara yang praktis baru bermula pada tahun 1906 dan mendapat tantangan-tantangan keras, dan dapat diselesaikan pada tahun 1927 sehingga pemerintahan sipil dapat dimantapkan pada tahun 1928. Kesadaran bahwa pada hakekatnya rakyat Sulawesi Tenggara termasuk diantaranya pegawai pemerintah tidak menyukai kehadirannya yang dibarengi kampanye kehebatannya. Sebelum kedatangan Jepang, Belanda menangkap 3 orang Jepang yang sejak lama bermukim di Sulawesi Tenggara dan merampas semua miliknya. Menjelang kedatangan Jepang, Belanda tidak mempunyai kesiagaan militer dan justru cenderung untuk meninggalkan dan mengosongkan Sulawesi Tenggara. Yang ditinggalkan di Kendari hanya sepasukan KNIL dengan persenjataan minim walaupun Belanda menyadari arti strategis Kendari ditinjau dari sudut taksis militer.

2.      Keadaan Mayarakat

a.       Sosial Ekonomi

Menjelang Perang Dunia II kedudukan Pemerintah Belanda telah mantap sekali di Sulawesi Tenggara. Aspirasi tradisional yang pernah menentang kehadiran Belanda pada sekitar tahun 1906 telah lenyap. Masyarakat tradisional baik sistem maupun pola wawasannya dapat dikatakan telah lenyap. Yang tersisa hanyalah sisa-sisa feodalisme yang dengan maksimal dipergunakan oleh Belanda dalam melaksanakan pemerintahannya. Masyarakat tradisional yang homogen sebelum tahun 1906 telah digantikan oleh masyarakat yang heterogen yang timbul di kota-kota karena timbulnya golongan pegawai yang multi suku. Golongan pegawai ini menjadi golongan elite dalam masyarakat merupakan sumber gerakan dan interaksi masyarakat yang sangat mempengaruhi kehidupan sosial budaya masyarakatnya. Dengan keadaan inilah terwujudnya kekuasaan Pemerintah Belanda dan lancar serta aman menjelang Perang Dunia II. Keadaan ekonomi begitu meyakinkan setelah Depresi Ekonomi dapat dilalui. Hasil hutan laut dan pertanian dapat dipasarkan dengan baik karena lancarnya hubungan. Kemajuan di bidang ekonomi ini tidak dapat dinikmati oleh rakyat karena secara maksimal dan langsung karena potensi ekonomi mereka tidak punya. Kehidupan ekonomi dikuasai oleh Belanda dan Cina, sedangkan rakyat hanya pengumpul dan peramu. Di Muna timbul golongan masyarakat yang mengharap supaya dengan segera Jepang datang dan mengusir Belanda. Harapan ini bukan dilandasi kesukaan akan Jepang, tetapi mengharapkan akan adanya suatu perubahan dalam pemerintahan untuk mengurangi pajak yang memberatkan tersebut.

b.      Pendidikan

Pada sekitar tahun 1940 sekolah-sekolah telah dibuka sampai di pedalaman yaitu distrik/onderdistrik dan di beberapa desa. Sekolah-sekolah ini adalah Sekolah Rakyat yang lama belajarnya 3 tahun. Zending juga banyak membuka sekolah-sekolah di desa yaitu Sekolah Rakyat 3 tahun. Pada tahun 1940 di Onderafdeling Muna terdapat 12 VS, 1VVS, dan 2 VS Misi.di Kolaka yang terdiri dari 3 Distrik terdapat 5 VS, 1VVS dan 8 VS Zending. Di Kendari terdapat HIS kepunyaan Zending disamping beberapa VS yang dibukanya di desa-desa dalam Onderafdeling Kendari.

c.       Agama

Agama Islam mengalami gelombang kemajuan dalam sudut pemantapan ajarannya sejak akhir abad ke 19. Islam telah menjadi panutan seluruh rakyat, tetapi pedalaman ajaran dan syariat belum berwujud secara rampung. Pada sekitar tahun 1930 muncullah Muhammadiyah yang membawa modernisme Islam yang hanya mendapat pengikut utamanya para pemuda. Era 1930 sampai datangnya Jepang agama Islam di Sulawesi Tenggara merupakan masa pemantapan dan kebangkitan Islam setelah mengalami kemerosotan dalam arti praktisasi dalam kehidupan sosial sebagai akibat keruntuhan sendi-sendi masyarakat tradisional sejak kedatangan Belanda. Kerajaan Buton adalah suatu Kesultanan berdasar Islam dimana Islam menjadi sendi politik, sosial, dan budaya. Setelah campur tangan Belanda, praktisasi Islam dalam kehidupan politik, sosial dan budaya mengalami hantaman dan merosot praktisasinya sejalan dengan keruntuhan sendi-sendi masyarakat tradisionalnya. Secara keseluruhan modernisme Muhammadiyah membawa angin baru dalam kehidupan masyarakat. Elite besar adalah pengikut sekurang-kurangnya simpatisan dari Muhammadiyah. Zending dikenal sejak 1915 sedangkan Misi Katholik pada tahun 1912. Namun sebelumnya agama Kristen telah masuk ke Sulawesi Tenggara sejak masuknya Belanda yaitu melalui para pegawai di tiap ibukota Onderafdeling.

3.      Sikap Masyarakat Terhadap Pemerintah Belanda

Pada dasarnya rakyat menolak kehadiran Belanda untuk memerintah secara langsung di Sulawesi Tenggara. Sebelum tahun 1906 Kerajaan Buton dan Laiwui telah beberapa kali menandatangani perjanjian dengan Belanda. Perjanjian pertama dengan Belanda ditandatangani oleh Sultan Buton IV pada tahun 1613. Perjanjian-perjanjian tersebut dianggap pada mulanya sebagai perjanjian persahabatan dan saling menolong. Sesudah pertengahan abad ke 19, Kerajaan Buton dan Laiwui juga Luwu yang membawahi Mekongga merupakan wilayah Hindia Belanda tetapi pemerintahan tidak dicampuri secara langsung. Tetapi sesudah tahun 1906 apalagi setelah ditandatangani Perjanjian Pendek, Belanda secara langsung dengan dukungan tentaranya mencampuri pemerintahan. Hal ini tidak dapat diterima begitu saja oleh rakyat terutama golongan elite tradisional. Pada sekitar tahun 1930 kesadaran politik secara pelan telah merambat masuk Sulawesi Tenggara yang tercetus dalam beberapa organisasi. Gerakan Kebangkitan Nasional ini memuncak pada tahun 1935-1938. Dengan usaha maksimal Belanda dapat menetralisir gerakan yang berorientasi politik kemerdekaan Indonesia menjelang pecah Perang Dunia II. Warisan antipati elite tradisional yang menentang kehadiran langsung Belanda dalam pemerintahan yang disusul dengan segera oleh gerakan politik dengan orientasi Indonesia Merdeka mewarnai sikap masyarakat pada sekitar tahun 1940-an. Sikap ini menonjol sekali di Muna dimana masyarakat setelah pecahnya Perang Asia Timur Raya mengharap dengan degera kehadiran Jepang untuk mengusir Belanda.

4.      Saat-Saat Terakhir Pemerintahan Hindia Belanda di Sulawesi Tenggara

Sulawesi Tenggara adalah wilayah yang dianggap pelosok dalam Pemerintahan Hindia Belanda. Tindakan pertama Belanda sesudah meletusnya Perang Asia Timur Raya adalah penangkapan orang-orang Jepang yang sejak lama bermukim di Sulawesi Tenggara. Menjelang kedatangan Jepang, Belanda sudah bersiap untuk meninggalkan Sulawesi Tenggara. Justru tidak lama sebelum pendaratan Jepang di Kendari, suatu tim dari Makassar datang menjemput Belanda. Buton dan Muna dikosongkan sama sekali, sedangkan di Kendari masih tertinggal sepasukan KNIL dan beberapa personil Belanda yang juga selalu bersiap mengundurkan diri ke pedalaman dan jika dapat menerobos ke Sulawesi Selatan. Dalam keadaan tersebut raja-raja tidak mengambil suatu langkah politik, tetapi bersifat menunggu perkembangan. Pada dasarnya mereka bersama rakyat hanya menunggu kehadiran Jepang.

e.       Kedatangan Pasukan Pendudukan Jepang

1.      Propaganda Jepang

Tidak didapatkan informasi secara khusus tentang adanya propaganda Jepang menjelang kedatangannya di Sulawesi Tenggara. Propaganda dianggap tidak perlu karena rupanya dari awal Jepang telah menyadari bahwa pendudukan atas Sulawesi Tenggara tidak akan mengalami kesulitan baik dari segi militer maupun dari segi politik. Bagi Jepang dalam strategi ofensifnya menilai Sulawesi Tenggara khususnya Kendari sebagai tempat yang sangat potensial setelah Morotai di Maluku Utara. Pada sekitar tahun 1920 di Sulawesi Tenggara telah bermukim beberapa orang Jepang. Di Kendari datang Tomutsu Ohitshi yang membuka toko dan onderneming kelapa. Besar dugaan bahwa kedudukannya di Sulawesi Tenggara merupakan penugasan dari pemerintah Jepang. Sesudah meletusnya Perang Asia Timur Raya, orang Jepang yang telah lama bermukin di Sulawesi Tenggara ini ditangkap oleh Pemerintah Belanda. Pada saat itulah baru ketahuan bahwa ketiganya adalah intelijen Jepang yang merupakan perwira tentara yang rupanya sengaja ditempatkan di Sulawesi Tenggara dengan tugas khusus menyelidiki medan dan kekuatan tantara Belanda serta situasi sosial dan politik. Dapat disimpulkan bahwa Jepang telah memperoleh informasi lengkap tantang Sulawesi Tenggara yang strategis itu sebelum Perang Asia Timur Raya meletus. Informasinya sangat lengkap tentang keadaan medan yang sangat dibutuhkan dan keadaan sosial politik tidak serta kekuatan militer Belanda.

2.      Kedatangan Pasukan Jepang

Beberapa waktu setelah serangan Jepang atas Pearl Harbour yang membuka Perang Asia Timur Raya atau Perang Pasifik, tentara Jepang telah menyerbu ke selatan. Sasaran pertama ditujukan pada Filipina yang dimulai pada tanggal 10 Desember 1941. Serangan Jepang ke selatan berlangsung dengan cepat walaupun sebenarnya perlawanan yang berat masih dihadapinya di Filipina. Serangan kilat ke selatan ini yang menjadi tugas dari armada ke 2 selatan dilaksanakan beberapa hari setelah jatuhnya Manila dengan melalui dua jalur yaitu jalur Selat Makassar diduduki Jepang masing-masing pada 10 Januari 1942 dan 20 Januari 1942. Jalur Maluku yang dianggap penting dalam perhitungan strategis perang dalam jangka panjang, perhatian Jepang terpusat pada Morotai dan Kendari. Kendari dapat diduduki Jepang pada tanggal 26 Januari 1942. Dari cara pendaratan Jepang ini dapat diketahui bahwa Jepang sebelumnya telah mendapatkan informasi lengkap tentang Sulawesi Tenggara khususnya Kendari. Kota Kendari didarati tentara Jepang dari 3 jurusan. Ketiga pasukan ini pendaratan ini tidak mengalami perlawanan dari pihak tentara Belanda. Di Ponggolaka mereka bertemu dengan rombongan pendeta Zending dengan 2 orang pembantunya bersama Lasandara Kapita Kerajaan Laiwui. Pasukan Jepang dari Sampara dalam perjalanannya memasuki Kendari mendapat perlawanan dari KNIL. Setelah menduduki kota Kendari, tentara Jepang menuju lapangan terbang Kendaridua yang jauhnya 30 km dari Kendari. Dengan cepat Kendari diatur dan dibenahi sebagai kota yang memegang peranan penting sebagai tempat pertahanan Jepang yang sangat diperkuat. Kendari selain basis komando juga merupakan tempat bengkel dan docking serta gudang perbekalan/peralatan dari tentara Jepang.

3.      Sikap Jepang Terhadap Aparatur Pemerintah Hindia Belanda

Ekspansi Jepang ke Selatan yang dalam kurun waktu singkat menduduki Filipina, Indo Cina, Malaya, dan Singapura serta Indonesia bagian Utara segera terbukti memencilkan pusat Pemerintah Hindia Belanda di Jawa. Keadaan ini telah diperhitungkan sebelumnya sehingga sejak semula Belanda telah bersiap untuk mundur ke Australia jika keadaan sangat mendesak. Suatu tim dari Makassar telah datang menjemput semua aparat Pemerintahan Hindia Belanda untuk diungsikan. Tetapi rupanya Jepang telah menduduki Kendari. Pada saat kedatangan Jepang praktis pemerintahan Belanda di Sulawesi Tenggara telah tidak ada. Yang ada hanyalah pemerintahan Swapraja yang tetap menjalankan fungsinya walaupun dalam keadaan yang sangat menegangkan. Tentara pendudukan Jepang segera menawan semua pastor/pendeta Belanda dan sisa-sisa tentara KNIL. Pada bulan Desember 1942 Sultan Buton bersama para pembesar kerajaannya datang di Kendari menemui Panglima pendudukan Jepang. Di Kendari, Raja Tekaka segera mengakui kekuasaan Jepang dan tetap menjalankan pemerintahan sebagai Raja I sedangkan Kapita La Sansara ditetapkan sebagai Raja II yang berkedudukan di Wawotobi. Tidak lama kemudian pemerintahan sipil Jepang dibentuk dengan tetap mempertahankan sistem pemerintahan Belanda sebelumnya. Walaupun strukturnya sebagai pemerintahan sipil, tetapi dalam kenyataannya merupakan pemerintahan militer yang penuh ketegasan dengan segala tindakan ditujukan kepada kesuksesan perang sehingga terwujud dalam suatu pemerintahan fasis.

4.      Sikap Jepang Terhadap Bangsa Indonesia

Pada mula kehadiran Jepang kelihatan bahwa Jepang ada usaha untuk mengambil hati rakyat dan aparat pemerintahan Swapraja. Tindakan tegas Jepang pada orang Belanda dan Cina dibarengi dengan menunjukkan hati baik pada penduduk asli. Penganut Kristen sangat dicurigai sebagai antek Belanda sedangkan golongan Islam didekati. Orang Kristen sangat dikekang kegiatannya dan pernah dilarang mengadakan kebaktian. Semua sekolah Zending dan Misi diambil alih menjadi sekolah neheri. Tetapi pemuka-pemuka Islam diperbolehkan mendirikan sekolah Jamiatul Muslimin dan beberapa pemuda Islam diluaskan untuk melanjutkan pelajaran di sekolah-sekolah Islam di Makassar. Pemuda-pemuda diberikan latihan-latihan kepemudaan yang tergabung dalam Seinendan. Beberapa diantaranya sempat memasuki pendidikan/latihan Heiho. Untuk meningkatkan produksi rakyat diberikan bimbingan dalam bidang pertanian. Penanaman kapas digiatkan, lumbung-lumbung desa diadakan. Kemudian muncul sifat asli fasis dari Jepang terhadap rakyat. Dalam usaha mensukseskan perangnya, Jepang sangat membutuhkan banyak tenaga sukarela tanpa dibayar. Kemudian dinamakan dengan Romusha. Rakyat digilirkan setiap 2 bulan bekerja pada Jepang untuk membangun kubu-kubu dan lapangan terbang. Tenaga rakyat sangat dikuras, apalagi Kendari merupakan basis Jepang yang harus dibangun dengan segala kebutuhan pertahanan dan kepentingan perang. Pengurasan tenaga rakyat sangat memerosotkan hasil pertanian. Dapat disimpulkan bahwa pendudukan Jepang di Sulawesi Tenggara merupakan masa yang paling pahit bagi rakyat. Makan tidak cukup, tenaga dikuras, pakaian hampir tidak punya, justru penyakit merupakan ancaman tersendiri.

5.      Sikap Bangsa Indonesia Terhadap Jepang

Zaman pendudukan Jepang merupakan zaman penuh siksa yaitu zaman penderitaan yang dibayangi ketakutan dan terkadang menonjol dalam bentuk penghinaan atas harkat kemanusiaan. Keadaan ini harus diterima dengan penuh pasrah karena tidak punya daya sama sekali. Namun demikian tidak pernah timbul suatu usaha perlawanan terbuka dari rakyat terhadap Jepang. Di Kolaka Utara, Tojabi yang pernah menentang Belanda dan tua sekali ditangkap Jepang dan ditawan ke Palopo. Tojabi adalah penentang Belanda yang tidak dapat ditangkap dan menduduki tersendiri dalam hati rakyat setempat. Ketegasan dan kekejaman Jepang pada rakyat ini membawa efek samping yang bersifat positif di kemudian hari yaitu rakyat terutama para pemuda mengagumi keberanian dan disiplin dari orang Jepang. Pengenalan akan alat-alat perang modern juga membawa pengaruh khusus pada kalangan pemuda, demikian pula akan praktek dan tata cara kemiliteran Jepang.

 

 

 

 

 

 

BAB III

PENUTUP

 

Kesimpulan

Buton telah menerima agama Islam pada 948 H (1541 M) dan sejak itu raja-rajanya bergelar Sultan. Pada awal abad XVII Sapati (Perdana Menteri) La Singga telah mengumandangkan Islam menjadi dasar keperintahan dan pemerintahan kerajaan. Sejak itu kealiman dalam ilmu agama menjadi ukuran pengangkatan pejabat-pejabat kerajaan dari Sultan sampai pejabat terendah. Kesultanan Buton mencapai puncak kebesarannya pada jaman Sultan Muh Idrus yang memerintah pada 1824-1851. Kerajaan Konawe diawali dengan munculnya tokoh Sangia Ndudu yang bersama To Lahianga. Kerajaan ini terbagi atas 3 kerajaan yang masing-masing dikepalai oleh seorang Mokole (Raja). Raja Mekongga yang pertama adalah La Rupalangi. Dalam hal perkembangan wilayah Kerajaan Mekongga maka struktur pemerintahan mengalami perkembangan juga. Sampai akhir abad ke 19, kerajaan-kerajaan Sulawesi Tenggara merupakan kerajaan yang berdaulat penuh ke dalam. Perbatasan dari pihak Belanda hanya terbatas pada adanya persetujuan Belanda dalam pengangkatan raja baru jika terjadi pergantian raja. Pendidikan masih berlangsung secara tradisional dengan pengembangan yang timbul di pusat-pusat kerajaan dengan meningkatkan keterampilan membaca dan menulis. Kehidupan seni budaya sampai pada akhir abad ke 19 dapat dikatakan merupakan lanjutan dari kehidupan seni budaya pada masa-masa sebelumnya. Tarian-tarian rakyat yang diadakan pada berbagai peristiwa yang diadakan menurut tradisi masing-masing tetap berlangsung seperti masa sebelumnya. Agama Islam masuk ke Sulawesi Tenggara sebelum tahun 1550 dan sejak awal abad ke 17 Islam merupakan sendi kerajaan Buton. Sejak itu kehidupan sosial, politik dan budaya tersusun berlandaskan ajaran Islam. Pemantapan Islam dalam kehidupan sosial dan pemerintahan serta penyebarannya diawali dari istana, seperti masuknya agama Islam juga diawali dari istana. Penduduk bagian daratan Sulawesi Tenggara penduduknya hidup dari pertanian, sedangkan daerah kepulauan penduduknya hidup dari bertani, nelayan, dan berdagang. Makanan pokok orang Tolaki adalah beras dan sagu. Orang Moronene termasuk penduduk pulau Kabaena hidup dengan makanan pokok beras. Orang Muna dan Buton makanan pokoknya adalah ubi-ubian dan jagung.

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Bhurhanuddin, dkk . 1978 . Sejarah Kebangkitan Nasional Daerah Sulawesi Tenggara . Jakarta : Balai Pustaka .